Tanpa tidak mengurangi disposisi pentingnya isu terorisme di Indonesia. Artikel ingin mendekonstruksi perilaku sosial kita di dunia digital. Betapa masyarakat kita kebal terhadap tindak teror. Pada satu waktu kita tegap melawan. Sejenak lepas dari itu, kita kembali menertawai dunia. Bukankah sendi-sendi hidup ini adalah teror-teror inklandestin?
Paska rentetan teror menjelang Ramadahan, publik tersentak dari keriuhannya sendiri. Saat terjadi perang tagar, perang cuit netizen, hoaks dan klarifikasinya bersliweran di timeline. Ledakan bom dan serangan kepada aparat mensenyapkan kita. Fikiran kita dan timeline kita sepi sejanak. Tagar #KamiTidakTakut pun dikumandangkan via sosmed. Walau sejatinya kita tetap ciut nyalinya.
Lalu berapa lama tagar tadi menyedot perhatian kita? Bukan saja isu ini terus trending di sosmed. Tapi bagaimana isu ini menjadi perhatian di dalam kepala dan hati kita. Satu minggu? Tiga hari? Atau bahkan satu hari kemudian?
Di era dimana resonansi begitu lemah di hadapan tsunami konten, isu terorisme kadang lesap dengan cepat. Mereka yang tadinya getol sekali menulis tagar ganti Presiden. Di saat kejadian teror tagarnya bisa saja berubah. Namun jika sudah disesatkan faham konspirasi. Peristiwa teror pun dengan teledor dikaitkan dengan tagar ganti presiden. Hal ini karenan kebebalan partisan kita memang dibentuk cukup lama dan militan.
Waktu berlalu, dan kita pun kembali sibuk di dunia wkwkwk atau dunia maya. Sebuah dunia digital dimana euforia tanpa batas dilakukan setiap hari. Mulai dari nyinyir dengan anonimitas akun, sampai menyebar hoaks sesuai bias keyakinannya diperbuat. Era mindset post-truth pun menyumbang resiliansi kita terhadap fenomena pahitnya dunia nyata.
Maka tertawailah meme receh di akun seorang selebtwit. Atau cengar-cengir sendiri melihat video Tik-Tok tak berfaedah di FB. Kuntitlah IG story para selebritis dengan kehidupan hedon-nya. Kita pun sedikit banyak lupa betapa mencekamnya bom bunuh diri sebuah gereja di Surabaya minggu lalu. Atau pun, kita sudah menyangkal isu ini dan kembali getol menulis tagar ganti Presiden.
Teror halus sudah kita kecap sehari-hari di kehidupan nyata. Di jalan raya, kita selalu waspada pengendara yang urakan. Karena di jalan raya ada prinsip, senggol bacok. Jangan lupa selalu pasang mata saat mengantri masuk ATM. Siapa tahu ada anak yang berniat mencuri isi rekening.Â
Belum lagi teror yang kadang kita biarkan merajai fikiran kita. Jangan lupa bayar cicilan motor. Telat dua bulan, bisa ditarik paksa di tengah jalan sama oknum mata elang. Lunasi KPR rumah, dan biarkan rekening hanya persinggahan gaji tiap bulan. Atau jadwalkan membayar SPP sekolah 3 anak kita. Kalau sampai lupa, mau raport mereka ditahan sekolah.
Inilah stressor kehidupan yang kian menjadi teror. Jika mengacuhkan ini semua. Jangan harap hidup bermasyarakat mulus sesuai rerata kelas ekonomi menengah.
Dan kita pun berpaling pada dunia digital. Dunia yang mewadahi keluh kesah, ketakutan, kerahasiaan, dan segala rasa yang bisa kita ungkap. Dibalik QWERTY jemari kita berteriak, menangis, mencaci, meracau, bahkan tertawa lepas. Kungkungan teror kehidupan kita pun coba kita tertawai atau dilipur dengan wkwkwk.
Tiada kasta berupa harta, tingkat pendidikan, atau kedudukan di dunia maya. Seorang profesor bisa seteledor anak SD saat menyebar berita hoaks. Seorang anak SMP bisa seradikal pejuang ISIS saat tahu keyakinannya dihina. Seorang ulama panutan pun bisa seenaknya dicaci tanpa rasa hormat. Bahkan sampai saat ini, seorang Presiden pun dihinakan tanpa kenal waktu dan situasi.
Dunia digital via sosmed adalah katarsis kekalahan kita di dunia nyata. Sejuta akun bisa kita buat. Bak Rahwana dengan seribu wajahnya. Kepahitan hidup tidak ingin kita jumpai di sosmed. Tak heran, isu kritis seperti terorisme akan dilibas informasi baru dalam benak netizen. Bahkan disinformasi kadang membuat isu seperti terorisme bahan lelucon. Faktanya, ada kepsek yang diciduk polisi karena dianggap melecehkan isu teror bom di Surabaya.
Publik kita sudah kebal dan cerdik melawan teror. Faktanya teror kehidupan kita yang semakin sulit, tidak membuat kita lemah. Isu terorisme pun menjadi perhatian kita. Namun kadang concern dan perlawanan kita pada isu ini dideviasi kepentingan oknum. Entah itu dengan dalih kekuasaan atau atas nama SARA.
Bergembira di dunia maya tidak ada yang melarang. Namun jika rasa gembira ditulis menjadi konten/posting kebablasan. Maka konsekuensi dunia nyata tetap akan disemai. Ber-wkwkwk-lah dengan bijak.
Artikel menyoal literasi digital dan ranah sosial lain:
- Kita, Internet dan "Psychosocial Moratorium"
- Hoaks, Naive Realism dan Konsensus Milenials
- Medsos dan Kesepian Kita
Salam,
Solo, 21 Mei 2018
01:13 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H