Hei kawan, sudah berburu takjil menjelang berbuka tadi? Sudah beli berapa banyak? Kolak favorit yang dijual si ibu di perempatan sudah dibeli? Atau gorengan plus cireng, di dekat minimarket juga enak? Dan sup buah, biar pas buka langsung segar jangan lupa!
Habis semua takjil. Puasa serasa lengkap. Perut kenyang. Dan sebatas kenyang itulah puasamu.
Bayang-bayang takjil sejak subuh itu korosif. Ia menghabiskan niatan merasakan empati. Yakin kau sudah benar-benar merasakan lapar seperti pengemis kumal di bawah jembatan. Atau merasa makan satu kali ala penggenjot becak di pasar. Pun meresapi laparnya anak kecil yang diajak meminta-minta ibunya di lampu merah.
Karena kau tahu, kau akan kenyang magrib nanti. Bayang-bayang sup buah sampai Takoyaki ada di kepala. Kau mungkin juga berkhayal rasa dingin es kelapa saat masuk kerongkongan. Dan betapa damai dunia, saat kau habiskan es kepal Milo usai tarawih nanti.
Kaum miskin papa tidak bisa seindah ilusi takjilmu kawan. Mereka bisa menemukan sisa gigitan gorengan di kantong kertas saja sudah beruntung. Mereka bisa ganjal perut yang meronta. Malam hari, syukur-syukur ada yang memberi nasi bungkus. Saat dirimu sudah lelap melahap habis nasi rendang, nikmatnya.
Bukan kawan, bukan saya ingin medeskreditkan takjil. Namun tahukah kamu kawan. Kita selalu dikeliling imaji kenikmatan surga berbuka.
Kau lihat saja iklan dengan tips masak. Atau sekadar membuat kudapan berupa banana nugget. Enak dan nikmat saat rasanya menyentuh lidah. Dan dengan uang kau punya, rasa nikmat berbuka itu dekat. Kau tukar selembar 50 ribu untuk berbuka dengan secangkir Kopi Luwak di mall. Indah buatmu. Tapi ilusi bagi kebanyakan yang tidak mampu.
Tidak kawan, bukan takdir yang membuat mereka tidak mampu mengecap. Tetapi rasa empatimu dan nuranimu untuk sejenak berpuasa. Menanah ingin dan ilusi untuk menyantap hidangan nikmat dan mewah. Dan akan lebih indah, jika kau bisa berbagi kenikmatan takjil. Berbagilah.
Kau pasti ingat kata ustadz, jikalau puasa mengajarkan rasa empati. Terutama untuk saudara sesama Muslim. Selama satu bulan penuh, kita diminta menahan apa yang namanya ilusi keinginan untuk banyak makan.
Yang terjadi sebaliknya kawan. Bulan puasa, adalah bulan over-consumption. Iming-iming makanan nikmat, juga murah dijajakan di pinggir trotoar. Kau tingal tunjuk. Lalu tukar lembar giral yang kau punya. Makanan apa yang di bulan puasa tidak ada kawan. Faktanya, makanan malah makin banyak dan variatif.
Ah, lagi-lagi saya terlalu sarkas pada kalian penikmat kuliner. Bukankah kuliner juga adalah nikmat dari sang Kuasa. Betul kawan. Demikian adanya.Â
Hanya saja, jika kau coba memahami ilusi berburu takjil. Sebaiknya kau kian memahami apa yang disebut rasa lapar. Saat dorongan liur memenuhi mulut, disitulah ujian empati berada. Apa kau bisa tahan hanya mengkonsumsi 3 butir kurma? Dan sebelum tidur, makan seperti porsi sebelum bulan puasa.
Imaji makanan kian nikmat pun hanya ada di bulan puasa kawan. Iklan bersliweran di layar TV, smartphone, atau gadget menggoda kita untuk kian serakah. Selagi kau mampu, makan sajalah terus. Apalagi yang kau tunggu.Â
Sekali lagi, ujian ilusi takjil baru kita mulai. Karena mungkin masih banyak takjil gratis yang kau incar. Dan beruntung jika bisa kau ambi 2 bungkus untuk di makan sahur, atau sebelum tidur.
Salam,
Solo, 17 Mei 2018
08:21 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H