Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Susah Ngga Sih Bikin Berita Hoaks?

8 Mei 2018   16:24 Diperbarui: 9 Mei 2018   22:00 2633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Spot Bad Boss - ilustrasi: mentoreu.com

Perang melawan hoaks kini kian gencar. Selain gerakan Saring Sebelum Sharing (3S), ada juga aplikasi Hoaxbuster dari Mafindo guna melawan persebaran hoaks. Pemerintah pun sudah mengatur UU ITE yang sedemikian rupa untuk mengerdilkan diseminasi hoaks. Pihak kepolisian pun menggencarkan pelatihan anti-hoaks dan pengawasan cyber-police 24/7. Dan bisa kita rasakan, betapa hoaks politik partisan banyak di timeline medsos kita.

Jika kita kritisi, betapa pintar pembuat berita bohong. Dengan narasi, foto, atau video mereka mampu mengelabui kita. Kabarnya, hoaks dibuat oleh orang yang banyak tahu. Untuk orang yang tidak mau tahu. Dan disebar orang yang tak tahu apa-apa.

Susah tidak membuat atau merekayasa berita bohong? Pertanyaan yang harusnya kita tahu jawabnya agar kita melek literasi media.

Pertama, kita harus tahu alasan membuat berita bohong. Konon, berita hoaks atau fake news dibuat untuk mendapat klik/visit. Dengan judul sensasional siapa yang tidak tahan untuk klik/visit link. Ketika ribuan atau jutaan klik diraih, Google Adsense memberi insentif mulai ratusan sampai ribuan dolar. Google Adsense akan memasang iklan retargeting pada tiap pengunjung berita hoaks di situs tadi. Empunya situs mendapat sepersekian persen karena telah mempersilahkan iklan dipasang oleh Google Adsense.

Kini sepertinya motif ekonomi jarang kita temui. Apalagi di masa Pilkada/Pilpres, dominasi berita bohong berunsur partisan terlihat. Via medsos, berita menyudutkan pemerintah banyak dibuat. Baik berupa plintiran berita tulis, framing foto, atau potongan video clip menjadi alat pengibul kita. Motif yang terlihat adalah, pendeskreditan pemerintah dan menjaga rasa benci pada pemerintah.

Kedua, mencari berita viral dan isu sensitif untuk direkayasa. Saya yakin, oknum pembuat berita bohong melek media dan medsos. Mungkin juga, mereka melek sisi jurnalismenya. Karena berita terkini yang dianggap bisa memperburuk citra pemerintah adalah berita bagus. Dengan utak-atik kosa kata, rekayasa foto dan video bisa dibuatlah berita bohong.

Contohnya, dengan memotong ucapan wawancara mentri tentang utang, dibuat berita bombastis. Memotong klip pidato presiden tentang racun kalajengking pun menjadi konsumsi olok-olok di sosmed. Atau mem-frame foto seolah ada penguasaan asing. Karena ada foto bendera asing yang dipasang di sebuah tiang di istana negara.

Ketiga, untuk mengecoh akal sehat narasi ambigu pun diciptakan. Seperti artikel saya sebelumnya, fikiran kita cenderung tidak mau susah memahami ambiguitas. Kita cerna saja apa yang disajikan. Dengan "bumbu" foto dan video clip tak jelas asalnya, informasi bohong di medsos kita terima. Narasi yang dibuat pun kadang sarkastik, mengundang simpati, atau menyulut kemarahan.

Contohnya, banyak yang menggunakan sebutan cebong, bani micin, atau pasukan bumi datar. Labelisasi ini tentunya mengundang rasa benci kita untuk sekadar melihat komen atau malah menyebarkannya. Dengan ratusan kali share/retweet dan ratusan komentar, siapa yang tak ingin nimbrung. Sejatinya, kerumunan ini pun kadang palsu.

Karena keempat, ratusan bahkan ribuan akun palsu dibuat untuk memviralkan. Biasanya para buzzer akan diminta jasanya untuk memviralkan suatu hoaks. Akun buzzer ini bukan hanya ratusan, bahkan ribuan dan jutaan akun yang dimiliki seseorang atau kelompok. Dengan mencomot foto profile orang, sebuah akun palsu buzzer bisa seolah akun asli. Konon, para buzzer ini dibayar untuk jasa viral produk/jasa.

Berasal dari satu akun, berita menyudutkan pemerintah di-share/retweet/di-heart sehingga viral/trending. Para simpatisan berakun asli pun berbondong menyemut berita bohong tadi. Tanpa perlu verifikasi atau mencari fakta, berita bohong disebarkan. Karena dalam kerumunan yang sangat banyak dan homogen.. Kadang seseorang tidak tahu jika berita yang disebar adalah hoaks.

Membuat berita bohong sulit dilakukan. Karena menulis fakta saja sulit, apalagi bernarasi membuat kebohongan. Kita pun patut bertanya, apa si pembuat berita hoaks masih punya nurani? Apa tidak malu atau berdosa membohongi banyak orang? Kalau cuma sekadar uang, apa tidak ada kerjaan lain selain membuat berita bohong?

Artikel lain tentang hoaks dan literasi digital

Salam,

Solo, 8 Mei 2018

04:32 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun