Sudah dibilang kalau yang di posting itu hoaks, masih keukeuh aja. Rame komentar pro kontra di kolom komentar malah jadi penguat percaya hoaks. Kadang posting/tweet dihapus bila benar itu hoaks. Tanpa sesekali pun meminta maaf sudah menyesatkan. Namun di lain waktu, posting berita bohong lagi. Terus dihapus sendiri lagi pas tahu hoaks.
Pertanyaan utama kita jika melihat fenomena seperti di atas. Kenapa sih orang mudah sekali percaya berita hoaks?
Ada empat faktor yang mempengaruhi kebebalan seorang yang percaya hoaks. Faktor-faktor psikologis ini membuat seseorang teguh dengan sumber informasi yang diterima. Apalagi via sosmed/chat group, yang cenderung hyper-personal dan real-time.
Faktor pertama adalah penyederhanaan kognitif. Akal fikiran atau kognisi kita cenderung mengolah pesan yang dianggap mudah. Karena sesuai dengan keyakinan pribadi, informasi mudah difahami. Sedang sikap skeptis membutuhkan kerja otak yang lebih. Banyak orang pun rentan pada informasi ambigu.Â
Berita bohong yang penuh narasi ambigu dan sensasional, memang mudah diterima. Apalagi jika informasi tadi berasal dari orang terdekat. Saat era post-truth menjadi acuan, maka berita faktual menjadi beban kognisi seseorang. Ditambah konsensus sosial berbasis preferensi politik dan SARA, mempercayai berita bohong menjadi kian mulus.
Faktor kedua adalah disonansi kognitif. Saat seseorang memegang dua informasi bertentangan, terjadi konflik dalam pikiran. Memilih salah satu informasi yang dianggap benar pun didasarkan pada faktor pertama. Dengan kata lain, lebih mudah menyangkal fakta daripada mengubah keyakinan pribadi.Â
Seseorang yang yakin kalau imunisasi itu berbahaya, maka ia akan memegang teguh prinsipnya. Ditambah arus informasi homogen yang disebut filter bubble di sosmed. Jika belum ada anggota keluarga yang celaka karena tidak diimunisasi, maka belum berubah keyakinan. Namun, apakah harus menunggu sampai jatuh korban agar keyakinan berubah.
Faktor ketiga, backfire effect. Backfire effect adalah saat seseorang ditunjukkan beragam fakta, ia malah semakin bebal. Alih-alih seseorang mengubah keyakinannya, ia malah semakin yakin. Dan efek inilah yang kadang muncul dari seseorang yang percaya informasi bohong. Efek ini menjadi titik kulminasi dari faktor pertama dan kedua.
Saat mencari atau disuguhkan banyak fakta, kadang seseorang terlalu berat mencerna semua. Yang terjadi malah seseorang akan semakin menentang fakta. Saat sudah disajikan kalau Presiden bukan anggota partai komunis, penyangkalan akan terjadi. Karena fakta yang terlalu banyak beredar malah menjadikan seseorang overwhelmed.Â
Faktor terakhir adalah tribal unity. Faktor ini terkait dengan sifat dasar kita sebagai mahluk sosial. Dan sebagai bagiann dari masyarakat, kita mencari keseragaman prinsip, keyakinan, etnis, preferensi politik, atau kedaerahan. Bertentangan dengan kelompok/komunitas kita adalah pelanggaran. Dan tidak ada orang yang ingin dikucilkan.
Jika seorang yang terlanjur percaya hoaks atas dasar SARA/preferensi politik, maka sulit untuk keluar dari grup tersebut. Seseorang yang sudah nyaman, merasa dianggap, dan saling bertegur sapa di satu grup akan ada rasa memiliki. Rasa memiliki ini yang juga membentuk baik aspek post-truth atau filter bubble di sosmed/grup chat. Berita apapun, benar/bohong akan menjadi konsumsi dan didistribusi keluar dari kelompok.
Dan yang lebih menyebalkan dari penyebar hoaks adalah melabeli fakta dengan teori konspirasi. Hal ini menjadi penyangkalan terakhir sebuah komunitas yang menyebar hoaks. Karena berita bohong tentunya diciptakan orang yang lebih pintar dari yang mempercayainya. Jika fakta menyangkal hoaks, teori konspirasi akan memperkokoh keyakinan berita ngibul.
Menurut riset tahun 2017 di Uni Eropa, disinformasi atau berita bohong sudah mengancam demokrasi. Sekitar 80% (26.500 orang) responden dari 28 negara Uni Eropa percaya berita hoaks dapat memecah belah publik. Bagaimana dengan orang Indonesia? Di mana berita hoaks menjadi konsumsi sehari-hari via sosmed. Di mana sulitnya men-debunk hoaks. Sudahkah kita perduli?
Jika membenarkan hoaks itu berat, setidaknya jangan menyebarkannya.
Referensi: businessinsider.com | debunkinghadbook.com | euronews.com
Salam,
Solo, 4 Mei 2018
09:25 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H