Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menangkal Hoaks dengan Kearifan Lokal

27 April 2018   21:48 Diperbarui: 28 April 2018   17:55 2834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bharatayudha - ilustrasi: wayangku.id

Dari kisah ini bisa dipetik beberapa hikmah guna memberi literasi media, khususnya menangkal hoaks:

  • Berita bohong biasanya menyentuh isu-isu sensitif. Dalam kisah ini, kabar bohong Aswatama gugur menjadi senjata melawan Durna. Walau yang sebenarnya mati adalah gajah Hestitama, bukan anaknya. Begitupun berita hoaks di sekitar kita. Banyak berita kibal-kibul bernarasi SARA, kesehatan dan preferensi politik.

  • Berita bohong bersifat sensasional. Teriakan Aswatama mati adalah kunci kebingungan Durna. Contohnya di sosmed pun, hoaks pasti dihiasi dengan kata-kata sensasional. Belum lagi ditambah embel-embel amin, klik, share.

  • Berita bohong tanpa klarifikasi menimbulkan keresahan. Dari lakon wayang di atas, Durna mengalami resah mendalam. Karena kabar anak semata wayangnya gugur tanpa ia tahu. Di internet, banyak berita ngibul menimbulkan keresahan. Apalagi jika sudah diangkat media mainstream, baik cetak atau digital.

  • Memahami berita bohong harus berdasar fakta, bukan katanya. Karena Durna bertanya pada Bima yang diminta Krisna untuk mengiyakan pertannyaan, Durna pun tersesat. Yudistira tidak berbohong, tapi mendistorsi kabar. Alih-alih berkata Aswatama, Yudistira berkata "Esti (Hesti), Tama mati." yang berarti benar Tama mati. Distorsi atau memelintir ucapan pun kerap kita jumpai di berita bohong. Terapkan langkah CCTV atau HBT bisa menjadi solusi.

Tidak perlu jauh-jauh memahami literasi media. Buka dan resapi kembali folklore, epos atau petuah dari kearifan lokal kita. Ada hikmah, nilai, atau pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan kontesktual kita di era digital. Karena nilai dan norma budaya sendiri lebih sesuai dan dekat dengan kita. Karena belum tentu value, mindset, dan literasi asing sesuai dengan jalan hidup bangsa kita.

Salam,

Solo, 27 April 2018

09:48 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun