Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mendefinisikan Ulang Istilah "Gaptek"

10 April 2018   10:36 Diperbarui: 10 April 2018   12:40 3632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.andymort.com

Gaptek atau gagap teknologi kerap dilabeli bagi orang awam yang baru kenal teknologi. Istilah ini saya kira tren di tahun 90-an. Tahun 90-an di Indonesia menjadi era dimana komputer, internet dan gadget diperkenalkan.

Masih saya ingat dulu menggunakan komputer ber-OS Lotus dengan layar hijau. Atau sebuah gadget kecil pengganti telpon rumah yang disebut pager. HP Nokia 3315 dulu sudah menjadi sesuatu yang mewah. Internet pun menjadi konsumsi sekunder setelah banyak warnet. Dulu berselancar di internet harus sabar dan telaten. Akses terbatas dan lambat memang menjadi kendala. Bagi orang yang tidak kenal teknologi semacam ini, maka dibilang gaptek.

Namun bagaimana di era informatika sekarang? Anak saya yang berusia hampir 3 tahun sudah kenal YouTube. Sedang putri saya yang hampir 6 tahun kini sibuk meminta saya meng-Google sesuatu yang ia tidak tahu. Apalagi soal mengoperasikan smartphone dan tablet pun bukan lagi masalah. Bisa jadi, dalam 10 sampai 20 tahun lagi istilah gaptek tidak lagi ada. 

Seiring teknologi yang kemajuannya serupa berlari, kita serupa tertinggal. Bukan tertinggal dalam hal fisik kita tertinggal. Karena toh dengan informasi di internet kita bisa tahu perkembangan teknologi terbaru. Misalnya, video dari Boston Dynamic yang merancang robot hewan yang kian lincah dari mirip hewan. Atau smartphone terbaru dengan teknologi makin ciamik yang rilis hampir tiap kuartal tiap tahunnya. 

Kita banyak tertinggal mengenai literasi tentang teknologi. Kita tahu banyak cara menggunakannya. Namun sedikit tahu tentang manfaat bagi diri dan orang lain. Contohnya ayah saya yang baru kenal WhatsApp. Tapi ia sudah belajar semua fiturnya dalam hitungan minggu. Di sisi lain, ayah saya sebagai user WhatsApp sulit membedakan mana fakta dan mana kebohongan. 

Kini bukan lagi soal menguasai bentuk atau rupa teknologi. Namun lebih kepada mengakomodir kemanfaatannya. Dahulu ada pelajaran TIK di sekolah. Namun pembelajarannya lebih kepada pengenalan hardware dan software. Sedang hal ini bisa dilakukan siswa di luar sekolah. Mapel tidak membuat siswa berpikir kritis mengenai informasi di internet. Siswa tidak diberi konsep literasi media dan literasi digital secara umum.

Tidak bisa dipungkiri, teknologi kini menjadi artefak peradaban manusia abad 21. Teknologi tidak sekadar menjadi instrumen pemudah kehidupan. Namun ia adalah bagian dari keseharian dan bisa jadi kebutuhan primer manusia milenials. Saat pengguna internet mencapai 134 juta di Indonesia. pemahaman tentang literasi digital dan media sangat minim. Sekolah masih sibuk dengan kurikulum rezim baru dan beban administratif.

Publik dibiarkan menggunakan teknologi sesukanya. Internet memang media euforia, namun kadang kebablasan. Mulai dari scam, phising sampai berita hoaks mudah saja diyakini dan disebar. Tanpa metode Cek, Cermati, Telusuri dan Validasi, berita bohong menjadi konsumsi orang lain. Belum lupa kita juga pada kasus ransomware yang membuat kita panik.

Dunia digital adalah dunia baru yang kita kenal tapi kita tersesat atau disesatkan di dalamnya. Kita sejatinya tidak lagi gaptek, namun buta literasi digital, bulidig. Saat generasi tua mudah dihasut, diprovokasi dan terhanyut dalam obesitas informasi. Ada baiknya, para milenials lebih bijak dalam ber-internet. Lebih arif lagi jika generasi mendatang sesegera difahami konsep literasi digital.

Bulidig bisa menjadi penyakit endemik jika terus didiamkan. Pemegang kepentingan dan pendidik harus sadar hal ini. Tidak harus dimulai dari ruang kelas. Sebarkan dan pahami konsep literasi digital dari rumah sudah bisa menjadi solusi. Sederhananya, tidak usah lagi menyebarkan hoaks mulai saat ini. Karena hoaks kini sudah semakin meresahkan kita semua.

Artikel lain soal literasi digital:

Salam,

Solo 10 April 2018

10:34 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun