Parkir motor di depan ATM cuma 5 menit tetiba diminta bayar parkir 2.000 rupiah. Diminta (baca: ditodong) oleh juru parkir liar. Ia muncul dan memegang motor seolah hendak mengamankan jalan kita. Ikhlas tidak ikhlas, 2.000 perak harus diberikan. Karena katanya jika juru parkir tidak diberi upah, ia akan marah atau membentak. Lebih tidak enak lagi dicaci dengan kata-kata yang mungkin kurang berkenan. Intinya, tidak mau ada masalah. Semua sama-sama 'untung'. Padahal masuk ATM cuma mengecek saldo.
Seolah ada konvensi tidak tertulis, kini tarif parkir naik. Dulu motor 1.000 kini menjadi 2.000. Ingin rasanya memberi 1.000 rupiah saja. Tapi jatuhnya akan diminta tambah. Tarif naik pun berlaku untuk mobil yang kini bisa sampai 5.000. Bisa jadi referensi kenaikan tarif parkir liar mengikuti inflasi ekonomi. Atau mungkin juga kenaikan BBM atau TDL. Bisa jadi, tahun depan akan menjadi 3.000 untuk motor.
Dari sisi giral atau mata uang, punya pecahan 2.000 rupiah di kantong merugikan kita. Apalagi saat tahu kita sedang parkir. Kecil sekali kemungkinan, juru parkir mengembalikan 1.000 untuk parkir motor. Ada konvensi tidak tertulis lagi di sini, bahwa pengguna parkir tidak berhak atas kembalian 1.000. Pokoknya harus ikhlas. Lama atau sejenak, semua motor dipukul rata 2.000. Untung bagi beberapa, buntung buat beberapa juga.
Sehingga muncul tanya di benak kita. Sebenarnya membayar parkir liar sendiri, untuk jasa mengamankan kendaraan kita? Ataukah membayar parkir liar untuk keamanan diri kita?
Apalagi saat tahu jika juru parkir menggunakan seragam ormas tertentu. Tampangnya pun kadang tidak bersahabat. Kadang pula dengan menunjukkan tatonya agar keliatan sangar. Serba salah rasanya jika tidak membayar. Kalau muncul debat gegara tidak mau bayar parkir ATM 5 menit. Pasti kita akan digeruduk anggota ormas lain. Entah saat itu juga atau di lain waktu. Intinya semua ingin rasa aman.
Sebuah ironi kota besar dengan padatnya penduduk dengan kendaraanya. Ditambah tingkat kriminalitas yang tinggi. Pun, jumlah pengangguran tinggi membuat jasa juru parkir pekerjaan menguntungkan. Alasan untuk membuat dapur ngebul bisa jadi alasan para juru parkir. Membayar anaknya sekolah, membeli kebutuhan sandang dan pangan, dll. Pola konsumsi untuk menjaga axioma makan untuk hidup, hidup untuk makan.
Sebagai pengguna kendaraan, butuh akan rasa aman kendaraan kita saat parkir. Sayangnya, lahan parkir liar seolah menjadi komoditas pihak tertentu. Dimana ada demand, di situ ada supply. Walau tidak ada tempat untuk parkir. Pasti ada cara "kreatif" juru parkir liar menempatkan kendaraan. Pun jika ada lahan tak bertuan untuk parkir, mereka menempatkan dirinya sendiri. Bahkan, kadang ada rambu "Parkir Gratis" juru parkir liar bisa jadi muncul tanpa diundang.
Pihak otoritas jalan raya dan perparkiran daerah sejatinya tahu keuntungan dari parkir. Tapi keterbatasan personil, anggaran, fasilitas, dll menjadi kendala. Penertiban parkir liar pun insidental diadakan. Dan bak sakit flu yang reda, di lain waktu parkir liar muncul kembali. Tanpa sanksi tegas dan aturan yang bisa diutak-atik, parkir liar akan terus berjaya.
Dampak psikologis parkir liar sebagai teror terselubung pun kita simpan sendiri. Entah karena sudah memberi rasa aman atau rasa takut, kita tetap membayar parkir liar. Alih-alih, dalam hati kita pun berucap 2,000 untuk 5 menit masuk ATM menjadi ladang amal. Namun tentunya tidak semua orang demikian. Dan bisa jadi 2,000 rupiah yang kita beri tidak digunakan sebagaimana mestinya.Â
Salam,
Solo, 28 Maret 2018
09:28 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H