Mengkerdilkan penyebaran hoaks menjadi tanggung jawab bersama saat ini. Sehingga gerakan literasi menolak hoaks di sekitar kita patutnya kita ikuti. Selain mengetahui cara oknum tak bertanggung jawab menyebar hoaks. Gerakan seperti ini juga menjadi media sadar dunia digital. Seperti seminar mengenai diseminasi hoaks di tahun politik, baik Pilkada maupun Pilpres 2019 nanti.
Seminar yang diadakan di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ini dipanelisi praktisi, akademisi dan aparatur pemerintah. Dari kalangan praktisi, hadir Septiaji Eko Nugroho atau mas Zek selaku ketua Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia). Dari akademisi juga hadir, Kaprodi Ilmu Komunikasi UNS Sri Hastjarjo. Dan dari pihak aparatur negara, bapak Eko Sulistyo sebagai Deputi IV Kantor Staf Presiden. Jurnalis senior dan ketua PWI Surakarta Anas Syahirul didaulat memoderatori acara.
Hoaks bukan saja ancaman pribadi atau golongan. Di negara Sri Lanka, sempat viral berita hoaks yang hampir mengancam stabilitas negara. Kabar bohong soal pil mandul di Facebook hampir menyulut perang antar agama di sana. Sedang di tanah air sendiri, berita hoaks hampir setiap hari bersliweran di lini masa sosmed.
Menurut mas Zek, di Indonesia sendiri ada sekitar 800.000 situs penyebar berita bohong. Dan di tahun politik ini, Mafindo beserta Bawaslu merancang Siskamling Digital. Program ini memantau dan menampung pelanggaran kampanye Pilkada maupun Pilpres di dunia maya.
Maka terciptalah keyakinan pada satu informasi, yang kadang informasi tersebut diplintir. Realitas utuh memang tidak akan disajikan di media massa. Terjadilah distorsi informasi, dimana beragam informasi seolah menyajikan fakta. Oleh sebab itu, media massa yang ada selayaknya memihak pada kebenaran. Dan media kredibel di Indonesia memang tidak banyak, jelas pak Hastjarjo sebagai pengamat komunikasi dan media.
Sedang menurut bapak Eko Sulistyo, medsos Indonesia memasuki ranah post-truth. Post-truth adalah fenomena dimana fakta bisa divalidasi jika sesuai dengan sisi emosional dan keyakinan pribadi. Alih-alih berasal dari fakta sebenarnya, orang akan lebih percaya si A karena A adalah orangtuanya, sahabat baiknya, dll.
Sisi emosional inipun terkait dengan budaya dan kedaerahan. Pak Eko membandingkan betapa Via Valen, videonya lebih banyak ditonton daripada Raisa atau Ayu Tingting. Dan disinilah hoaks yang juga ada di sosmed menjadi bagian dari post-truth karena kesamaan agama, suku, partai, dan kedaerahan.
Dan semua bisa memulai mencegah sekarang juga. Mafindo sudah menyusun aplikasi Hoax Buster yang bisa diunduh di Playstore. Aplikasi ini memanfaatkan customized search engine untuk memvalidasi berita. Kita pun bisa melaporkan berita bohong untuk diklarifikasi di app ini. Dan adalah tanggung jawab kita untuk menghentikan persebarannya. Aplikasi dapat diunduh disini.
Tentunya seminar ini mendapat dukungan penuh dari pihak UNS dan Himakom FISIP UNS. Tanpa kerja keras mereka menyiapkan urusan teknis, seminar ini urung terjadi. Serta tentunya rekan-rekan Mafindo, yang perduli untuk mencerdeskan netizen. Salut pula pada rekan-rekan Mafindo dari Purworejo yang jauh datang ke Solo demi sharing ilmu dan bersilaturahim.
#IndonesiaBebasHoaks
Salam,