Ada tamsilan lama berujar "Bersahabatlah dengan pandai besi. Niscaya kau terpercik api dan berbau asap. Berkawanlah dengan penjual parfum. Maka kau dapat wanginya."
Tamsilan di atas mungkin bisa jadi definisi filter bubble di era informatika saat ini. Sekumpulan orang dengan minat, ketertarikan, atau perilaku akan menularkan hal serupa kepada orang yang mendekat.Â
Pada tahun 2009, Danny Sullivan seorang ilmuwan Google Inc., mencetuskan istilah personalized search. Contohnya, saat dua orang berbeda mencari keyword "Egypt", maka muncul dua hasil berbeda. Di PC orang pertama mungkin muncul tentang Piramid Giza. Sedang yang satu muncul peristiwa demonstrasi di Tahrir Square.
Hal ini dikarenakan click signal dari PC atau gadget yang kita punya. Click signal adalah komoditas di dunia maya, di mana pasar sangat dipengaruhi perilaku users atau pengguna. Saat seseorang mengklik atau berkunjung ke website atraksi wisata. Maka tak heran iklan/ads yang muncul di web lain di PC yang sama akan menawarkan paket wisata.
Dan inilah yang dieksploitasi Google, Facebook, Netflix, Youtube, dll. Google saat ini memiliki jumlah user terbanyak dengan jumlah mencapai 2,2 miliar. Ditambah netshare untuk pengguna search engine masih dikuasai Google (74,54%), dan kedua Baidu (14,9%).
Filter bubble pun telah merambah ke sosial media. Facebook sebagai platform sosmed terbesar diuntungkan dari hal ini. Pada satu sisi, orang dengan minat yang sama bisa berkarya dalam satu grup. Namun di sisi lain, lini masa Facebook akan didominasi informasi yang serupa.
Tak heran jika linimasa pembenci pemerintah akan dihiasi posting yang cenderung kontra. Begitu pun sebaliknya. Hal ini karena filter bubble sudah mengklarifikasi user tersebut sudah me-like/komentar/share posting tentang satu kubu tertentu.
Saat ada sentimen SARA, nasioalisme, bahkan golongan menyertai polarisasi grup penentang, kadang filter logika menjadi longgar. Maka inilah yang terjadi di grup Muslim Cyber Army (MCA). Contohnya, kemenangan Donald Trump di Pilpres US pun banyak didorong oleh polarisasi grup di dunia maya.
Terjadi computational propaganda saat kampanye Donald Trump, menurut P. Howard seorang peneliti di Oxford. Dunia maya, seperti Facebook, tidak menyajikan yang real, tapi lebih mengikuti pola filter bubble. Konten hoaks yang sudah di-share ribuan kali mungkin lebih banyak dipercaya orang. Tanpa klarifikasi lanjut, konten ini lebih berbahaya saat viral.
Saat grup seperti MCA disokong motif agama, kadang sami'na wa a'tona lebih berkesan menjerumuskan. Karena posting dengan like, share, komen yang banyak lebih banyak dianggap valid daripada kroscek mendalam (baca artikel saya Menyelami Fenomena Komen, Amin, Like, Share).
Di masa pilkada dan pra-pilpres seperti saat ini, grup seperti MCA tentu tidak hanya satu. Dan tentunya user/member tidak hanya yang ditayangkan di media. Bisa jadi lebih banyak users/member di platform seperti WhatsApp, Telegram, dll. Mereka dengan pola pikir yang terlanjur teracuni filter buble dunia maya menjadi kian militan. Karena beberapa anggota mereka tertangkap. Tidak menutup kemungkinan anggota lain semakin mantap dengan militansi gerakan mereka.