Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sumpah Pemuda di Era Informatika

27 Oktober 2017   08:52 Diperbarui: 27 Oktober 2017   18:40 2379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada usia 17 tahun Malala Yousafzai meraih nobel di tahun 2014, atas kegigihannya melawan pengekangan perempuan di rezim Taliban. Pada usia 15 tahun, Louis Braille merancang huruf Braille yang menjadi pembuka literasi tuna netra sampai saat ini. Dan pada usia 13 tahun, Joan of Arc menjadi patriot perempuan yang memenangkan 100 Years War  melawan Inggris di abad 19. Beberapa pencapaian monumental pemuda pemudi dunia yang kini menjadi warisan dan pelajaran.

Namun jangan lupa, Indonesia pun memiliki pemuda-pemudi pengukir sejarah. Ada sekitar 700 orang pemuda menghadiri Kongres Pemoeda II tanggal 27-28 Oktober 1928, dengan 82 pemuda/pemudi yang kini tercatat mengukir sejarah. Peristiwa yang mempersatukan Nusantara itu kini kita sebut Sumpah Pemuda. Sebuah sumpah yang bukan main-main, karena inilah jua yang menjadi cikal bakal Indonesia beragam yang berkesatuan. 

Tokoh pemuda seperti Muh. Yamin, Sio Kong Liong, J. Leimena, atau W.R Soepratman menjadi sebagian pengukir sejarah Indonesia waktu itu. Figur yang jua akan terus mengukir kontribusinya sampai kemerdekaan Indonesia. Betapa jerih payah mereka menjadikan Indonesia yang sekarang kita banggakan bukan upaya belaka. 

89 tahun sudah berlalu dan Sumpah Pemuda masih bergema di tiap hati kita. Seolah tiada usai perjuangan memerdekan bangsa. Ada saja upaya beberapa pemuda di era informatika yang patut kita banggakan. Sebut saja Butet Manurung dengan Sokola Rimba, Liliyana Natsir & Tontowi Ahmad dengan prestasi bulutangkisnya, Sandi Sandoro dan Joey Alexander dengan musikalitasnya yang mendunia. Dan banyak pemuda/pemudi lain Indonesia lain yang kiranya tidak mungkin ditulis satu persatu di artikel ini.

Lalu apa analogi dengan kontribusi pemuda di Sumpah Pemuda dulu dan prestasi pemuda saat ini? Pada dasarnya, semua pemuda ini resah melihat bangsanya. Mereka mencoba memajukan dan menggaungkan nama bangsanya ke dunia. Dengan tekad, kemauan, dan ketugan belajar dan bekerja sama, nyatanya mereka mampu berkaray untuk banyak orang.

Perbedaan lain analogi ini adalah ketersediaan informasi dan data baik untuk karya atau penghasil karyanya. Dunia digital yang begitu luas atau bahkan limitless memungkinkan pembuat karya/karyanya terkenal di platform digital atau non-digital. Silahkan saja ketik pemuda berprestasi di Google. Dari mulai tingkat kabupaten sampai dunia sudah banyak artikel yang merangkumnya.

Di sisi lain, dampak negatif dunia digital bagi pemuda pun tak bisa dipungkiri. Dari mulai peredaran narkoba sampai prostitusi dikendalikan generasi yang melek internet. Lihat saja di televisi siapa pengedar tembakau Gorila melalui sosmed, atau para admin grup Loly Candy club di Facebook beberapa waktu. Atau aksi para teroris atas nama Tuhan, yang direkrut via sosmed. Menyedihkan, memprihatinkan sekaligus menjadi indikasi pentingnya melek dunia digital untuk pemuda.

Dunia digital yang begitu cepat berinovasi membuat para pemuda bangsa kelimpungan. Saat apa yang mereka pelajari di sekolah masih berbasis papan tulis dan kertas, literasi digital yang dihadapi membuat mereka gaptek. Istilah gaptek kini bukan lagi soal tahu cara mengoperasikan gadget. Tapi memanfaatkannya dalam tiap sendi kehidupan pemuda di dunia digital, itulah yang penting. Memahami operasional gadget bisa dilakukan beberap hari/minggu.  Namun memahami literasinya kini menjadi tantangannya.

Sehingga, saat kita mem-frame jiwa Sumpah Pemuda 1928 ke era informatika saat ini beberapa hal muncul.

  1. Pemuda dulu dan sekarang masih sama dengan keresahannya, daripada melakukan hal negatif tuangkan ke hal yang positif
  2. Pemuda adalah penggerak dunia digital bangsa, dan di dunia digital ini prestasi banyak dikenal dan diukir
  3. Pemuda yang gaptek tidak sekadar harus tahu mengoperasikan gadget, tetapi memahaminya sebagai literasi digital

Dan kini, tinggal bagaimana wacana literasi digital ini bisa difahami bersama. Ada urgensi sebagai bangsa besar yang ingin eksis bersama bangsa maju, dan dengan dunia digital menjadi salah satu caranya. 

Referensi: bintang.com | britannica.com | hipwee.com

Artikel lain tentang literasi digital dan Sumpah Pemuda

Salam,

Wollongong, 27 Oktober 2017

12:53 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun