Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dwi Hartanto, "Mythomania" dan Kehidupan Digital Kita

11 Oktober 2017   09:00 Diperbarui: 11 Oktober 2017   10:47 2928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus Dwi Hartanto (DH) menyedot keprihatinan sekaligus pertanyaan untuk kita. Apa yang terjadi dengan DH sebagai seorang ilmuwan? Bagaimana bisa media dan netizen yang dulu mengelu-elukan DH tidak tahu ini? Apa DH memiliki kecenderungan mythomania? 

DH sebagai mahasiswa S3 di universitas terkenal di Belanda sejatinya mencoreng civitas akademia Indonesia. DH yang pada tahun 2016 digadang menjadi 'the next Habibie' ternyata bersembunyi di balik khayalannya. Sebuah eksplorasi fakta yang diada-ada dan dibumbui dengan istilah mutakhir dibuat DH cukup lama. Yang terjadi adalah perhatian dan kekagumanan kita, media dan dunia akademik pada DH. Bahkan DH sendiri sudah menerima penghargaan dari konsulat RI di Belanda.

Bisa jadi DH menunjukkan gejala mythomania. Sebuah gangguan psikis yang mencampurkan fakta dan khayalan dalam kehidupan seseorang. Enric Marco berkebangsaan Spanyol telah hidup selama 30 tahun lebih dalam kebohongan. Enric telah mengelabui banyak orang dengan cerita-ceritanya saat ia ditahan di Kamp Nazi. Bahkan pada tahun 2001 Enric dianugrahi Creu de Sant Jordi Honour  oleh pemerintah Catalan, sebagai pejuang sejarah dan sosial. (berita How Spanish Nazi Victim was Exposed as Impostor)

Di dunia selebriti, Heather Mills pun sempat menyedot perhatian dengan segala fantasinya. Mengaku pernah hidup di jalan dan drop-out dari sekolah waktu remaja. Mills pun mengaku pernah dianugrahi Outstanding Person of the Year Award oleh British Chambers of Commerce. Padahal penghargaan ini tak pernah ada. Atau yang lebih besar, Mills pernah mengaku menjadi nominee Nobel karena jasanya menyumbangkan kaki palsu kepada korban ranjau darat di berbagai negara. Namun faktanya, Nobel tidak menuliskan Mills sebagai nominee. (berita Heather Mills Secret and Lies)

Jadi, persona seperti DH sejatinya tidak lagi hal luar biasa. Pada kedua kasus di atas, ada kecenderungan pelaku menginginkan perhatian dan sorotan. Kedua orang di atas pun memiliki imajinasi dan realitas yang kabur menyoal kehidupan. Baik Enric dan Mills memiliki kecenderungan mengasingkan diri jika tidak memilik sesuatu yang dilebih-lebihkan. Dengan kata lain, dengan berbohong dengan dibumbui fakta dan khayalan perhatian pun datang. Apalagi kebohongan ini disembunyikan, diulang, dan dipertahankan cukup lama, sehingga orang pun percaya.

Facebook vs Reality You - ilustrasi: boucherco.com)
Facebook vs Reality You - ilustrasi: boucherco.com)
Lalu, bagaimana media dan netizen bisa terkecoh? DH pun sempat diwawancarai talkshow yang cukup bonafide di tahun 2016. Bahkan banyak portal berita menjunjungnya sebagai ilmuwan pengharum nama bangsa. Dengan foto DH di samping B.J Habibie, media baik mainstream maupun melalui medsos mengangkat berita ini. Ternyata, banyak orang, termasuk saya, kecewa dengan pengakuan (baca, klarifikasi) dari DH. Dan DH sendiri saat ini menghadapi sanksi akademis dan sosial dari kecenderungan mythomania yang ia pertontonkan.

Pribadi dan mimpi DH membuat sesuatu yang fantastis dan wah sendiri adalah refleksi pribadi kita di dunia digital. Seperti pernah saya tulis menyoal bentuk kepribadian kita di dunia digital yaitu pribadi front stage  dan backstage identity (selengkapnya di sini). Kadang kedua kepribadian ini bertolak belakang. Hal ini disebabkan oleh pribadi yang semakin teralienasi, sehingga mereka melihat dunia digital sebagai bentuk euforia kehidupan sosial. (Baca artikel saya Media Sosial dan Kesepian Kita dan Internet Psychosocial Moratorium)

Jika kita bisa melihat dari perspektif DH, bukankah kita akan bangga. Dielu-elukan di media sebagai orang hebat Indonesia. Mendapat banyak pujian dan sanjungan dari teman, keluarga, kolega bahkan orang yang tak pernah dikenal. Di internet namanya pun mudah dilacak di search engine manapun. Dengan pemberitaan dari media-media besar dan bonafide. Betapa berwarna dan membanggakan portofolio karir yang telah dibuat. Namun semuanya dibuat di atas kebohongan belaka.

Saya hanya bisa menduga DH mengalami halusinasi mythomania. Karena toh belum ada bukti medis menyokong statement saya ini. Namun, tetap jua kita apresiasi atas pengakuan DH sendiri. Entah atas dorongan internal diri sendiri atau faktor eksternal lain, mengakui kebohongan 'besar' ini tentu cukup berat. Apalagi kemungkinan berat sanksi akademis atau mungkin pidana atas pembohongan publik bisa saja DH tanggung nantinya.

Hikmahnya juga ada baiknya aksioma ilmu padi, di mana semakin berisi semakin merunduk tetap kita anut. Karena toh ada waktunya penghargaan dan apresiasi datang pada waktunya jika karya kita benar bermanfaat. Kahlil Gibran dengan karya dan kontribusinya banyak dikenal setelah ia tiada. Nikola Tesla dengan penemuan visionernya pun kini menjadi panutan dunia keilmuan. Dan banyak orang hebat lain yang karyanya lebih harum tanpa harus mengorbankan reputasinya dengan sorotan apalagi khayalan semata.

Salam,

Wollongong, 11 Oktober 2017

01:00 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun