Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Guru Millenial, Harus Tahu "Flipped Classroom!"

5 Oktober 2017   10:27 Diperbarui: 5 Oktober 2017   12:11 5291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat seorang guru meminta 40 siswanya membaca materi pelajaran minggu depan di rumah, apa yang terjadi minggu depannya? 90% siswa bilang belum membaca, 5% baru bilang setengah membaca, 4% sudah membaca, 1% sudah membaca dan faham. Mungkin terlalu mengada-ada contoh dari saya ini. Namun saya fikir yang terjadi realitasnya tidak jauh berbeda.

Keengganan dan minat baca siswa yang rendah sudah menjadi rahasia umum. Indonesia sendiri menduduki peringkat 60 dari 61 negara pada ranking World Most Literate 2016 yang digagas Connecticut State University USA. Indonesia berada 1 tingkat diatas Botswana, sebuah negara padang pasir di bagian Selatan Afrika. Memprihatinkan? Bisa dibilang demikian.

Ironisnya, Indonesia menduduki peringkat ke 15 di dunia dari 19 negara perihal akses video via internet. Faktanya, kita mengalahkan Korea Selatan (posisi 16, 67%) dan bahkan Jerman (posisi ke 17, 61%). Lebih dari 71% penduduk Indonesia dengan akses internet, menonton video via situs video seperti YouTube, Vimeo, dll. Ternyata, Korsel dan Jerman yang kita anggap lebih modern dari kita tidak begitu sering melihat video melalui internet. Mungkin waktu mereka lebih banyak membaca?

Lalu apa hubungan ketiga isu dan kasus diatas dengan artikel ini? Jawabannya adalah, memanfaatkan video sebagai materi kelas. Dengan melihat rendahnya minat baca siswa dan tingginya waktu dihabiskan menonton video. Memindahkan kelas atau materi menjadi sebuah presentasi video yang menarik dan menyenangkan menjadi solusi. Inilah yang disebut Flipped Classroom (FCl).

Dua pioneer dan aktivis FCl yang terkenal adalah Jon Bergman dan Aaron Sams. Dua pendidik asal US ini sudah puluhan tahun memperkenalkan dan menerapkan FCl di sekolah-sekolah dan melalui internet. FCl bertujuan menghadirkan kelas 24/7 untuk siswa dengan akses memadai. 

Siswa dapat memutar CD, melihat dari Flashdisk video atau melihat channel YouTube mapel/kuliah/praktikum dari sang guru dimana saja dan kapan saja. Dan menontonnya dilakukan sebelum masuk kelas di gadget/laptop/PC yang siswa punya. Sehingga di dalam kelas, terjadi diskusi dan sesi problem-solving lebih banyak dilakukan.

FCl mengefisienkan alokasi presentasi guru di kelas. Dan juga mengoptimalkan analisa, evaluasi dan berkarya menurut Bloom Taxonomy of Learning. Video yang dibuat guru menjadi potensi siswa untuk mengingat, memahami dan mengaplikasi. Sehingga pelajaran/mapel/kuliah yang dilakukan di kelas lebih holistik dan menyeluruh.

Sebagai guru milenial, FCl menjadi media yang potensial menunjang KBM. Membuat video bukan lagi sebuah hal yang sulit. Dengan smartphone yang dimiliki, sebuah video penjelasan rumus Phythagoras bisa dibuat. Tidak perlu repot atau pusing dengan editing, lighting atau detail teknis video lainnya, membuat yang sederhana juga cukup. Bergman dan Aaron pun menyarankan video tidak harus lama. Disesuaikan dengan tingkatan siswa. Video berdurasi 3 menit biasanya disampaikan untuk tingkat SD, misalnya.

Beberapa hambatan juga mungkin akan dihadapi. Pertama dari kendala akses pada video. Namun media seperti CD/Flashdisk bisa digunakan jika akses ke YouTube terbatas. Beberapa situs/platform sekarang sudah menyediakan edit video secara online, contohnya Adobe Presenter atau Snagit.com. Kedua adalah waktu untuk membuat video FCl. Tentunya guru mesti menyisihkan waktu untuk membuatnya. Tidak harus untuk semua topik. Cukup satu/dua topik agar tidak monoton dalam KBM. 

Ketiga adalah pelatihan atau training, baik membuat video dan prosedur dalam FCl. Karena membuat video saja tidak begitu sulit. Namun mengotimalkan metode FCl juga harus difahami. Dan yang terakhir dan paling penting adalah mindset kita. Mengajar dengan cara tradisional (blackboard to pen) memang menjadi pondasi pedagogis seorang guru. Namun menggabung FCl ke dalam kelas adalah inovasi yang patut menjadi acuan. Apalagi generasi yang diajar kebanyakan dari generasi milenial atau Digital Natives. (Artikel saya soal ini Apa Kamu Digital Natives?)

Menggabungkan kegiatan melihat video dengan memahami pelajaran seyogyanya bermanfaat. Membiarkan waktu siswa terlalu banyak di depan layar tanpa belajar pun dianggap menyia-nyiakan waktu. Teknologi yang sudah dibuat ada baiknya mendatangkan kebermanfaatan untuk pendidikan. Mungkin banyak dari guru yang melihat potensi teknologi untuk pembelajaran. Namun belum banyak yang bisa mendayagunakan potensi tersebut. FCl mungkin menjadi salah satu dari potensi tersebut. Dan metode ini ada dalam frame besar tentang literasi digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun