Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

First Travel Bukan Agama Saya!

24 Agustus 2017   11:08 Diperbarui: 29 Agustus 2017   08:07 16689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Confused Mind by Yiit zboran - painting: saatchiart.com

Saya mencoba mengulik lebih dalam isu First Travel (FT) ini. Menguliknya jauh ke dasar permainan simbolisasi. Bukan hanya sekadar sensasi media belaka. Namun lebih kepada pergulatan tanda-petanda dalam isi kepala kita. Apa yang sebenarnya menjadi keresahan yang timbul akibat permainan tanda dalam kasus FT ini. Implikasi bawah sadar yang lagi-lagi merundung agama mayoritas negri ini.

Masih jelas tergambar di ingatan kita kasus penggandaan uang aspal ala Dimas Kanjeng. Bahkan tak luput satu/dua akademisi pun turut mengiyakan 'karomah' yang Dimas Kanjeng miliki. Atau pada 2008 lalu dengan kasus Syekh Puji yang heboh menikahi gadis usia 12 tahun. Dan mungkin yang belum lama adalah gembar-gembor aksi memenjarakan Ahok atas dugaan penghinaan agama mayoritas. Atau yang sudah terjadi dan ada yang dihukum yaitu menyoal kasak-kusuk impor sapi. Yang terungkap pada kasus ini adalah petinggi partai yang bernuansa agama mayoritas.

Semua terjalin pada kelindan simbolisasi agama mayoritas. Framing media yang begitu viral, liar dan kadang mencari headline belaka memang ampuh membuat kita prihatin. Pada satu sisi kita begitu menyayangkan agama mayoritas begitu banal dikalangi negasi dari beberapa pihak. Walau sejatinya, banyak pemeluknya yang berbuat jauh lebih baik dari yang disodorkan media. Dan hal ini saya anggap nyata adanya.

Namun simbol-simbol negasi ini cenderung menimbulkan sedikit aspek menistakan agama itu sendiri. Kenapa sedikit? Karena toh tidak ada di negara organisasi/individu yang terang-terangan melecehkan agama. Namun dalam taraf entitas tanda, banyak tersirat oknum/badan yang menyinggung agama demi kepentingan pribadi/golongan.

Kasus FT tak lain adalah simbolisasi terbaru yang bermuatan negatif dalam kepala kita. Yang terlihat adalah penipuan atas nama perjalanan umrah. Dengan iming-iming harga murah dan promosi dengan selebritis, ratusan milyar rupiah bisa dikumpulkan. Dan bagai skema Ponzi yang pernah ada, piramida ini pun runtuh diterjang bah tuntutan kerugian. Kini para tersangka, yaitu pengelola FT, terjerat kasus pidana.

Dan media pun beramai-ramai bancakan simbolisasi agama ini. Mulai dari sosmed empunya FT sampai rumah mewahnya dikuliti satu-persatu. Masih jelas terlihat senyum empunya dengan jilbab berfoto dengan latar menara Eiffel. Atau perhelatan fashion show yang penuh dengan nuansa hijab yang mengacu pada agama mayoritas, nuansa glamour menghiasi VT. Pun begitu dengan rumah mewah empunya FT yang bergorden ratusan juta, bergaya Renaissance dan dekorasi blink-blinkmahal lain. Yang tercipta di bawah sadar kita adalah, "Itukah agama saya? Bukan! First Travel bukan agama saya!"

Namun tak bisa disangkal, nyata-nyata empunya FT menggunakan simbol agama untuk menipu. Harapan orang yang ingin mengunjungi Mekah dan tempat historis lainnya kini kandas. Rayuan harga murah dihiasi iklan dengan para artis ternyata hanya tipu daya. Hiasan-hiasan agama mayoritas hanya menjadi dekorasi pelengkap kebohongan yang terjadi. Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka pun sejatinya telah melecehkan agama mayoritas. Namun banyak yang terdiam. (Baca artikel saya Video Kampanye Ahok, Aa Gym dan Conspiracy of Silence)

Seolah kita pun mafhum jikalau agama hanya menjadi permainan segelintir oknum picik. Demi mencapai hajat, kepentingan dan kadang syahwat individu/golongan, agama direnda dan dinista begini. Ancaman terbesar toh seolah bukan dari agama lain. Namun pembusukan dari dalam pemeluk agama itu sendiri. Dan saya pun yakin, hal ini tidak saja terjadi pada agama mayoritas di negri ini. Kedok-kedok agama sudah lama dipraktikkan sejak agama itu sendiri berkembang. 

Saya atau Anda mungkin tak bisa membendung berita soal FT dan hiasan ala agama yang kadung terajut. Yang terjadi dalam tiap fikir kita tentu, agama ini banyak juga membawa kebaikan. Bukan penyangkalan, namun sebuah fakta. Sayang jika menghabiskan waktu mengeluh pada berita mainstream yang terus merajut implisit kesan-kesan agama demi headline. Sedang juga, banyak dari pemeluknya yang bermain-main dalam semiotika tandanya untuk mengumpat empunya FT ini.

Agama toh akan terus menjadi komoditas bad news is good news. Pada satu sisi ia mengungkap borok pemeluknya yang tiada sejalan dengan ajarannya. Namun di sisi lain, agama yang sedang disorot ini sudah terlalu jumud di dalam kepala kita. Mulai dari perang atas nama tuhan, Islamophobia, teror ledak dan tabrak, bom panci dan lone wolf, dsb sudah memenuhi kepala kita. Dan sekarang kasus penipuan umrah FT. Detoksifikasi perkara semiotika blasphemy agama ini harusnya harus kita fahami. Tidak sekadar prejudice dan shallow-minded belaka. Lihat dari banyak sisi, ada kebaikan juga yang agama ini berikan.

Salam,

Wollongong, 24 Agustus 2017

02:08 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun