Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasiana Versi Baru, Yay or Nay?

11 Juni 2017   17:15 Diperbarui: 20 Juni 2017   14:09 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"The only constant is change."

Saya ingat quote di atas dari salah satu lagu band metal favorit saya, As I Lay Dying. Walau sudah bubar, tapi liriknya benar. As I Lay Dying sendiri adalah nama sebuah novel karya W. Faulkner. Sebuah novel yang menceritakan wasiat terakhir seseorang yang sekarat. Namun pelik dan rumitnya perjalanan membuat novel ini begitu detail. Nah, bagaimana hubungannya dengan Kompasiana versi baru.

Mari kita andaikan Kompasiana sebagai 'interior monolog'. Apa itu interior monolog? Kita sudah lakukan interior monolog ini setiap hari. Hanya pengistilahan saya biar kelihatan keren. Jadi, interior monolog adalah kata hati, suara hati atau hati kecil yang selalu berbicara. Ia selalu berkata walau mulut kita tak berucap apapun. Ia pulalah yang menciptakan konflik batin. Terutama 30 menit sampai 1 jam menjelang kita tertidur. Interior monolog sangat dominan.

Nah, Kompasiana sebagai media blog publik, ia adalah kumpulan interior monolog. Banyak kepala, ide, konsep, opini, fakta, dll yang berkelindan dalam tiap sub-tema di Kompasiana. Sejak 2008, Kompasiana menampung dan mendistribusikan hal ini ke penjuru dunia. Dengan keroyokan, gotong royong, sukarela, artikel yang kita buat menjadi 'komoditas'. 

Kompilasi interior monolog ini pun tentu akan berubah dari waktu ke waktu. Umpamanya, jika saat SD dulu hati kecil saya menginginkan Walkman. Mungkin sekarang saya ingin lebih dari sekadar Walkman. Saya perlu smartphone dengan spek tinggi. Saya butuh headphone dengan sound cancelling yang bagus, dll. Konflik dan banyak faktor lain mempengaruhi interior monolog.

Dan begitu pula yang terjadi di Kompasiana. Pihak pengelola merasakan konflik batin agar Kompasian berubah. Ia harus menjawab tantangan jaman dan jangkauan. Begitupula dengan wajah baru dan fitur bagus, Kompasiana butuh ini. Maka segala konflik ini memang sepatutnya dijawab dengan perubahan.

Saya sendiri sudah 3/4 merasakan Kompasiana 'pindah rumah'. Banyak keluhan terjadi memang. Namun ada positif juga yang didapat. Yang namanya perubahan tidak semua bisa menerima. Ada konstanta status quo yang terus membayang 'enak jamanku to?' Namun ada juga yang membutuhkan kebaruan dalam hidup. Dan untuk kebaruan ini, pengelola yang sangat tahu kebutuhan dan tantangan Kompasiana. Kita hanya manut sebagai 'penumpang'.

Maka muncul sekarang adalah seleksi alam di Kompasiana. Seperti artikel 2 tahun lalu yang pernah saya tulis disini. Proses 'pindahan' ini akan berefek pada keenggan menulis. Karena membaca artikel saja sulit. Lalu ada yang kecewa karena verifikasi, jumlah hits artikel, total artikel ter-publish yang berubah. Ada beberapa Kompasianer yang mungkin mundur.

Interior monolog dalam diri beberapa Kompasianer lebih memilih enggan bergabung. Walau saya yakin pula, tampilan baru ini mengundang Kompasianer baru yang tidak sedikit. Dan terbukti, beberapa Kompasianer baru mulai aktif. Mereka benar-benar menuliskan interior monolog mereka yang inspiratif dan bermanfaat, serta tanpa plagiat (mudah-mudahan).

Merangkum ketiga variabel, quote, Kompasiana dan novel Faulkner. Maka, tak ayal perubahan adalah sesuatu yang tidak bisa berubah. Andai dunia tidak berubah (atau ada yang mengubah), niscaya kita masih hidup bersama Dinosaurus. Begitupun dengan interior monolog dalam diri kita masingg-masing. Ia berubah demi menjawab realitas hidup. Semoga perubahan Kompasiana ini tidak serumit konflik dalam novel As I Lay Dying karya Faulkner. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun