Terlepas dari aura 'kepentingan' mencegah kriminalisasi ulama, MUI sudah tepat memfatwakan hal ini. Banyak kengerian di medsos yang nyatanya sangat merugikan publik. Fatwa menyoal bahaya dan ancaman medsos ini jelas hadir agak telat.Â
Namun, daripada tidak sama sekali. Tinggal sekarang bagaimana Kemenkominfo dan pihak terkait menyikapinya. Apakah nantinya bahaya medsos dengan semua sisinya hanya sekadar wacana, tanpa jelas hitam di atas putih. Dan lebih penting edukasi menyoal medsos, dunia maya, dan efeknya, yaitu literasi digital.
Fatwa MUI menyoal medsos memang lebih menggeser apa yang sudah ada dalam agama ke ranah digital. Mulai mengharamkan ujaran kebencian sampai ghibah (gosip), hal ini jelas ada tuntunannya dalam Islam.Â
Yang masih dan mungkin akan terus terjadi adalah apa yang diharamkan konstan terjaga. Karena di balik akun anonim, buzzer bayaran, grup chat, portal berita dll, yang dilarang terus terjadi. Simpul-simpul (loop) yang begitu luas dan luang di dunia maya penuh tipu muslihat.Â
Dan yang dilarang dalam fatwa MUI bisa jadi menemui kehampaan alias tanpa hasil. Hal ini jika dan hanya jika tidak adanya dua hal penting di dunia digital. Pertama adalah edukasi berupa literasi digital itu sendiri. Kedua adalah kampanye dan aturan jelas, baik dari Kemenkominfo maupun Kemendikbud.
Pertama, pendidikan literasi digital kini sudah menjadi urgent. Ekses negatif Pilkada SARA, perekrutan teroris, scamming, phising, hacking, dll. jarang dan mungkin langka diketahui publik. Isu-isu hanya santer terdengar jika sudah memakan korban. Dan nyatanya memang sudah memakan korban. Medsos yang begitu liar digunakan dalam Pilkada SARA sudah meracuni kita dengan bigotri dan segregasi. Fenomena ISIS dengan rekrutmen lewat dunia maya juga sudah terjadi. Dan isu teknis seperti cyberbully, scamming, bahkan ransomware sudah pernah kita tahu.
Sayangnya, isu-isu ini hanya menjadi berita. Isu ini menjadi headline menarik bagi publik. Dalam 7 hari atau lebih, isu ini pun hanya taken for granted. Seolah tidak terjadi apa-apa kemarin. Sambil menunggu kasus dan isu serupa berikutnya di media massa.
Urgensi kampanye dan pendidikan literasi digital tentunya tidak perlu mendetail mengurai masalah yang terjadi. Setidaknya ada usaha dari pemerintah untuk membuat kita waspada. Gerakan anti-hoaks menjadi salah satu caranya. Namun, jika sekadar seremonial di satu waktu, tidak ada efek longitudinal, publik mungkin juga akan lupa jika ada gerakan ini. Beberapa tulisan saya mungkin bisa menggambarkan sedikit apa itu literasi digital.
Pihak berikutnya adalah Kemendikbud dan Kemenristek. Kedua badan ini adalah 'tangan' menyoal literasi digital. Merekalah yang mendidik dan memberi kita pemahaman, makna, dan cara bertindak di dunia maya.Â
Tidak juga harus ketat dan mengekang, namun bijaksana jika menyoal menyebar informasi dunia maya. Karena mau tak mau apa yang ada di dunia maya akan berpengaruh ke dunia nyata saat ini. Dan edukasi dan kampanye literasi digital menjadi tindakan preventif dan kuratif untuk saat ini.