Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kenapa Pertanyaan Kuis di Televisi Cenderung "Bodoh"?

2 Juni 2017   16:40 Diperbarui: 2 Juni 2017   17:37 2484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TV and Reality - ilustrasi: pinterest.com

Kuis sudah menjadi bagian wajib sebuah show saat bulan Ramadan. Mulai dari variety show sampai acara ceramah, disisipkan kuis. Terutama di acara lucu-lucuan. Dari sahur menjelang sampai saat berbuka, acara ini banyak muncul. Tagline acara seperti ini adalah 'menemani sahur/berbuka puasa'. Memang intinya acara hiburan dengan banyak pelawak di dalamnya.

Fenomena yang muncul saat kuis adalah pertanyaannya cenderung 'bodoh'. Pertanyaannya sangat mudah. Ditambah pilihan jawabannya pun sangat sederhana. Logikanya pun diplintir, jika a+b= c ≠ d. Sedang dalam kuis ini jika a+b= c, bukan c, mirip c, c tapi bercanda. Dengan dalih lucu-lucuan memang wajar jika pilihan jawaban demikian. Namun yang terjadi dalam kelindan semiotis berbeda tentunya.

Cerminan logika ini menjadi petanda atau simbol tertentu. Memang di permukaan maknanya hanya bercanda. Namun apakah benar hanya bercanda? Mari kita coba bongkar dan lihat ada apa sebenarnya dibalik pertanyaan 'bodoh' ini.

Pertama, logika pertanyaan ini menyimbolkan attention gatherer. Pertanyaan ini adalah penarik perhatian massa. Persis seperti tukang obat. Di tengah lapang atau pasar malam ia berteriak-teriak soal khasiat obatnya. Betapa mudahnya sakit kulit diobati dengan ramuan obatnya. Banyak buktinya. Suara penjual nyaring dengan speaker ToA besar. Kerumunan orang mendekat. Obat pun bisa dijual habis, jika beruntung.

Jika pertanyaan kuis tadi bodoh dalam konteks sangat mudah, kenapa saya tidak bisa menjawab. Kalimat ini yang kita munculkan dalam fikiran kita. Dan pertanyaan ini memang untuk menarik makna tadi dalam fikiran kita. Maka tak ayal antrian telepon pemirsa menonton. Toh memang acara seperti ini tak lain adalah jualan barang/jasa. Sponsor besar dengan tulisan besar-besar memang dipajang. 

Kedua. logika pertanyaan ini menyimbolkan reality displacement.  Dalam terma Freud, displacement in terkait perilaku bawah sadar untuk mencari aman. Saat banyak pertanyaan hidup, akademis, eksistensi, politis, ideologi sulit diurai dan dijawab maka konflik terjadi. Sebuah defense mechanism mencari jalan aman pun terjadi. Maka pergeseran (displacement) kita munculkan. Pertanyaan sederhana dan sepele di kuis menjadi jawabannya.

Susah mencari uang sejumal 1-2 juta rupiah di kehidupan nyata. Butuh 1 bulan memeras keringat demi mendapatkan uang sejumlah itu bagi banyak orang. Kenapa tidak mencoba menelepon kuis tadi. Pertanyaannya mudah. Dan jawabannya pun pasti (baca: bodoh). Alam bawah sadar tergugah menelepon kuis ini. Persis sebuah keinginan untuk bertaruh dalam judi. Namun perjudian di kuis ini tentunya adalah rebutan saluran telepon yang sangat sibuk.

TV and Reality - ilustrasi: pinterest.com
TV and Reality - ilustrasi: pinterest.com
Ketiga, logika pertanyaan ini menyimbolkan bias hard-easy effect. Teori ini menyatakan bahwa pertanyaan sulit membuat kita over-confident. Sedang pertanyaan mudah membuat kita menjadi under-confident. Kita lebih terstimulasi secara kognitif pada pertanyaan sulit. Saat jawaban kita benar, maka ada percaya diri dan apresiasi pada diri. Sedang saat ada pertanyaan 'bodoh' kita cenderung tidak terlalu rumit berfikir. Saat jawaban benar pun kita hanya bilang semua orang juga tahu.

Dari hal ini tersirat, jika apa yang kita jawab cenderung tidak menstimulasi kita berfikir. Akibatnya kita lebih memilih sisi 'biasa saja' dari tontonan. Keseragaman berfikir menjadi propaganda yang berbahaya. Tidak adanya pribadi kritis untuk mencari jawaban yang solutif bisa saja berbahaya. Jika terjadi repetisi pertanyaan seperti ini. Tak ayal tontonan yang jadi tuntunan menjadi 'jalan hidup'. Sayang, hidup tidak semudah menjawab pertanyaan kuis seperti ini.

Terakhir, logika pertanyaan ini menyimbolkan opiate of the masses. Saat Marx dahulu menyiratkan agama sebagai opium masyarakat yang teropresi. Maka televisi di abad 21 menjadi opium publik. Ia adalah dunia distopis dengan kulturnya sendiri. Bebas, mudah, mewah, glamor, tragis, emosional dll menjadi ciri kontemporer TV. Apa yang tidak ada dan bisa di dunia nyata, semua bisa di TV. Televisi adalah pelarian dari pedihnya realitas hidup.

Konsekuensi jangka panjang dari logika kuis ini menjadi candu. Ada yang terbangun dan tidak mabuk dalam dunia TV. Namun banyak yang terpatri dan hidup dalam dunia seperti ini. Mereka mudah menyerah, agresif, mau praktisnya, penuh drama, dll. Mudahnya menjawab pertanyaan kuis tidak semudah menjawab banyak pertanyaan hidup. Memang semua akan tetap berjuang dan berusaha menjawab semua tantangan hidup. Namun dalam hatinya mengerang ingin menyerah pada kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun