Kuis sudah menjadi bagian wajib sebuah show saat bulan Ramadan. Mulai dari variety show sampai acara ceramah, disisipkan kuis. Terutama di acara lucu-lucuan. Dari sahur menjelang sampai saat berbuka, acara ini banyak muncul. Tagline acara seperti ini adalah 'menemani sahur/berbuka puasa'. Memang intinya acara hiburan dengan banyak pelawak di dalamnya.
Fenomena yang muncul saat kuis adalah pertanyaannya cenderung 'bodoh'. Pertanyaannya sangat mudah. Ditambah pilihan jawabannya pun sangat sederhana. Logikanya pun diplintir, jika a+b= c ≠d. Sedang dalam kuis ini jika a+b= c, bukan c, mirip c, c tapi bercanda. Dengan dalih lucu-lucuan memang wajar jika pilihan jawaban demikian. Namun yang terjadi dalam kelindan semiotis berbeda tentunya.
Cerminan logika ini menjadi petanda atau simbol tertentu. Memang di permukaan maknanya hanya bercanda. Namun apakah benar hanya bercanda? Mari kita coba bongkar dan lihat ada apa sebenarnya dibalik pertanyaan 'bodoh' ini.
Pertama, logika pertanyaan ini menyimbolkan attention gatherer. Pertanyaan ini adalah penarik perhatian massa. Persis seperti tukang obat. Di tengah lapang atau pasar malam ia berteriak-teriak soal khasiat obatnya. Betapa mudahnya sakit kulit diobati dengan ramuan obatnya. Banyak buktinya. Suara penjual nyaring dengan speaker ToA besar. Kerumunan orang mendekat. Obat pun bisa dijual habis, jika beruntung.
Jika pertanyaan kuis tadi bodoh dalam konteks sangat mudah, kenapa saya tidak bisa menjawab. Kalimat ini yang kita munculkan dalam fikiran kita. Dan pertanyaan ini memang untuk menarik makna tadi dalam fikiran kita. Maka tak ayal antrian telepon pemirsa menonton. Toh memang acara seperti ini tak lain adalah jualan barang/jasa. Sponsor besar dengan tulisan besar-besar memang dipajang.Â
Kedua. logika pertanyaan ini menyimbolkan reality displacement.  Dalam terma Freud, displacement in terkait perilaku bawah sadar untuk mencari aman. Saat banyak pertanyaan hidup, akademis, eksistensi, politis, ideologi sulit diurai dan dijawab maka konflik terjadi. Sebuah defense mechanism mencari jalan aman pun terjadi. Maka pergeseran (displacement) kita munculkan. Pertanyaan sederhana dan sepele di kuis menjadi jawabannya.
Susah mencari uang sejumal 1-2 juta rupiah di kehidupan nyata. Butuh 1 bulan memeras keringat demi mendapatkan uang sejumlah itu bagi banyak orang. Kenapa tidak mencoba menelepon kuis tadi. Pertanyaannya mudah. Dan jawabannya pun pasti (baca: bodoh). Alam bawah sadar tergugah menelepon kuis ini. Persis sebuah keinginan untuk bertaruh dalam judi. Namun perjudian di kuis ini tentunya adalah rebutan saluran telepon yang sangat sibuk.
Dari hal ini tersirat, jika apa yang kita jawab cenderung tidak menstimulasi kita berfikir. Akibatnya kita lebih memilih sisi 'biasa saja' dari tontonan. Keseragaman berfikir menjadi propaganda yang berbahaya. Tidak adanya pribadi kritis untuk mencari jawaban yang solutif bisa saja berbahaya. Jika terjadi repetisi pertanyaan seperti ini. Tak ayal tontonan yang jadi tuntunan menjadi 'jalan hidup'. Sayang, hidup tidak semudah menjawab pertanyaan kuis seperti ini.
Terakhir, logika pertanyaan ini menyimbolkan opiate of the masses. Saat Marx dahulu menyiratkan agama sebagai opium masyarakat yang teropresi. Maka televisi di abad 21 menjadi opium publik. Ia adalah dunia distopis dengan kulturnya sendiri. Bebas, mudah, mewah, glamor, tragis, emosional dll menjadi ciri kontemporer TV. Apa yang tidak ada dan bisa di dunia nyata, semua bisa di TV. Televisi adalah pelarian dari pedihnya realitas hidup.
Konsekuensi jangka panjang dari logika kuis ini menjadi candu. Ada yang terbangun dan tidak mabuk dalam dunia TV. Namun banyak yang terpatri dan hidup dalam dunia seperti ini. Mereka mudah menyerah, agresif, mau praktisnya, penuh drama, dll. Mudahnya menjawab pertanyaan kuis tidak semudah menjawab banyak pertanyaan hidup. Memang semua akan tetap berjuang dan berusaha menjawab semua tantangan hidup. Namun dalam hatinya mengerang ingin menyerah pada kehidupan.