Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Media Sosial dan Kesepian Kita

11 Mei 2017   12:13 Diperbarui: 28 Mei 2019   13:53 1661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Loneliness Legacy in Britain by Routledge Cartoon - ilustrasi: dailymirror.co.uk

Mark Zuckerberg, si penemu Facebook adalah seorang introvert. Ia belum punya banyak teman. Merasakan memiliki teman baik baginya adalah hal yang kurang sreg. Maka diciptakanlah Facebook walau pada awalnya FB adalah chat room untuk para alumni Harvard, lalu berkembang antarkampus, di Amerika Serikat, dan akhirnya seluruh dunia. Mark merasa dengan Facebook, semua orang kini bisa menjadi ekstrovert. 

Kisah 'ke-introvertan' ini serupa dengan Larry Page (Google), Steve Wozniack (Apple), dan Bill Gates (Microsoft). Mereka sukses dengan kesendirian dan rasa minder mereka, bahkan saat ini memfasilitasi orang-orang dengan kepribadian ekstrovert melalui teknologi. Terutama dengan media sosial yang kini menjadi bagian dari artefak kebudayaan manusia modern. Media sosial kini menjadi medium mengumbar kepercayaan diri. Di sisi lain, ia juga sarana menyembunyikan kesepian kita.

Sebuah studi menemukan bahwa kita memang berinteraksi di socmed untuk mengekspos diri dan mencari pengalaman baru, dengan emosi yang terkontrol. Adanya interaksi sosial di sosmed memang paralel dengan jiwa sosial kita. Sosmed nyatanya membuka dan memperluas interaksi sosial kita, terutama bagi digital natives yang lahir dan hidup dengan teknologi. Bagi digital immigrant, hal ini teknologi menjadi kecakapan yang harus dipelajari.

Namun, faktanya, socmed kini dipenuhi dengan anonimitas. Seseorang bisa memilih mendeskripsikan pribadi asli di akun sosmed mereka, atau tidak. Mereka bisa memasang foto yang bukan dirinya, plus detail yang bisa dibuat-buat. Semua demi satu tujuan, yaitu bersembunyi dibalik akun sosmed. Kemungkinan ekstroversi bisa saja ada di balik anonimitas. Namun, layaknya bersembunyi, ada hal yang membuat seseorang enggan dan sungkan untuk diketahui.

Studi lain juga menunjukkan adanya kaitan neurotisisme dengan sosmed. Neurosis adalah perilaku seperti cemas, gugup, kesepian, bahkan depresi. Tingginya tingkat khawatir dan gugup juga dirangkum dari studi ini. Seseorang akan lebih cenderung gugup dan khawatir untuk tidak menengok notifikasi di HP mereka. Mungkin juga merasa takut ketinggalan isu aktual atau viral. Ataupun terlalu cemas foto yang diunggah di FB tidak ada yang like atau komentar.

Sebuah riset pada generasi milenial menemukan bahwa sosmed menimbulkan isolasi sosial dan kesehatan. Kehidupan modern dengan socmed nyatanya tidak membuat kita semakin sosial, namun kita menjadi terkotak-kotak. Pengalaman interaksi sosial di dunia nyata tidak bisa disimulasi di sosmed sehingga, ada disorientasi dari makna interaksi sosial itu sendiri. 

Beberapa orang memilih Facebook lebih daripada Twitter misalnya. Karena di FB isinya banyak membenci pemerintahan, sedang Twitter tidak. Namun faktanya, preferensi ini tidak ditentukan kita sebagai user, namun lebih kepada algoritma trending topic dari lokasi, teman, hits status internet, Google search, dll.. Sebuah hal yang ditentukan oleh bot untuk muncul di halaman muka socmed kita. Apa pun itu, preferensi personal adalah ilusi yang diciptakan di sosmed.

Sehingga, secara psikologis juga kita akan lebih kesepian dengan socmed, baik dari intensi kita ingin berinteraksi sosial atau sebuah preferensi alter ego, kita tetap kesepian. Di dunia nyata mungkin kita dikelilingi riuh rendah teman, keluarga, dan sanak famili, namun mungkin kita akan lebih banyak menengok chat room atau sosmed yang kita punyai. Kadang tidak cukup satu sosmed, minimal dua akun kita punyai.

Kita akan selalu merasa kesepian di dunia maya. Dengan sosmed, kesepian itu kian ditekankan. Akankah benar adanya plesetan axioma gadget 'Mendekatkan yang jauh. Menjauhkan yang dekat'? Bisa saja suatu waktu. Untuk sementara, bayangan distopia generasi sosmed 'ekstrem' jelas digambarkan di film animasi Pixar, Wall-E.

Referensi: Corea, Willard & Gil de, 2010 | inc.com | telegraph.co.uk  

Artikel lain soal literasi digital:

Salam,

Wollongong, 11 Mei 2017

03:13 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun