Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Bagaimana kalau Ayah Follow Instagram-mu, Nak?

6 Mei 2017   14:36 Diperbarui: 6 Mei 2017   16:02 955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
#follow - ilustrasi: breakintotravelling.com

Ayah: "Bagaimana kalau ayah follow Instagram-mu nak?"

Anak: "Hmmm... Emang ayah punya Instagram??"

Ayah: "Punya dong.. ."

Anak: "Yadeh... boleh deh yah.."

Percakapan diatas menjadi isu tersendiri bagi generasi milenial. Saat orangtua mereka tidak lagi gaptek (gagap teknologi), mereka bisa jadi terkejut. Ayah atau ibu yang mungkin berusia diatas 40-50 tahun mungkin baru kali pertama tahu WhatsApp. Itupun digunakan sekadar grup chat bapak-bapak. Atau baru bulan kemarin buat email dan daftar Facebook untuk tambah teman gaek. Jika tetiba membuat akun Instagram/Snapchat/Twitter, mungkin anaknya akan heran. Pun juga akan gelagapan jika ortu mereka mem-follow akun sosmed anaknya.

Bagaimana tidak resah dan gelisah hati sang anak. Karena semua curhat/foto/tindak tanduk dunia maya mereka bisa saja berbeda dengan aslinya. Saat di dunia nyata terlihat santun. Bisa jadi di dunia maya, sang anak kasar, urakan, bahkan nakal. Saat orangtuanya tahu apa yang terjadi, tak ayal bisa omelan dan hukuman buat sang anak. 

Bisa saja anak akan membuat akun sosmed baru untuk mengakali. Namun dengan resiko, jika ortunya malah lebih pintar si anak bisa jadi malah kena omel lagi. Ortu bisa melihat dengan jelas tanggal postingan di akun sosmed anaknya bukan. Sulit mengakali data posting dan kadang juga lokasi. Apalagi sekarang ada fitur suggested friends/account. Suatu saat bisa saja ortu ketemu akun anaknya yang disembunyikan.

Hal ini terjadi jika dan hanya jika ortu melek literasi digital. Tahu benar-benar era Gen-Z saat ini, setiap orang memilki 'dua kepribadian'. Baca artikel saya: Memahami Identitas Diri di Sosmed.

Namun dari sisi humanis, layakkah oartu campur tangan sosmed anaknya? Apakah sudah begitu paranoid ortu sampai harus memonitor tindak tanduk anak di sosmed?

Dari sudut 'parents as guardian' atau sisi parenting, hal ini wajar saja. Karena toh dunia maa saat ini begitu 'mengerikan'. Ada berita soal grup yang mengeksploitasi seks anak. Ada juga berita teman dari seorang anak di FB menculik. Padahal mereka baru saja kenalan. Atau berita-berita hoax yang mengatasnamakan akun palsu seorang anak atau teman. Dunia maya seolah sudah lepas kontrol.

Apalagi saat anak atau remaja sudah begitu candu pada sosmed. Bisa jadi hal ini membuatnya tidak begitu ngeh pada realita. Karena realitas hidup dan mungkin keluarga mereka begitu pahit, sosmed adalah dunia euforis. Dunia yang mengaburkan pahitnya kehidupan buat mereka. Konsekuensinya, anak harus tampil sesuai apa yang menjadi tren. Beli baju/sneaker/gagdet baru. Jalan-jalan jauh atau ke tempat yang instagramable. Padahal hidupnya pas-pasan atau malah kurang mampu.

Orangtua pun patut menjaga privasi sang anak. Jangan atas dasar khawatir, maka apa-apa yang diposting selalu dikomentari ortu. Karena sosmed pun bisa menjadi media kreatif anak. Dalam hal fotografi, vlogging, plogging, dll, sosmed memang media yang ideal. Jangkauan sosmed baik intra atau inter serta eksternal dair sosmed sangat luas. Bisa jadi karya anak bisa menjadi karirnya di suatu waktu.

Entah itu curhat lucu-lucuan, selfie dengan angle yang 'sesuatu', atau vlog yang beralur. Semua adalah karya anak yang ingin diekspresikan pada dunia. Ortu saat tahu hal ini tentu harus mengapresiasi dengan 'cara anak sekarang'. Fleksibilitas ini membuat ortu menjadi bagian dari sosmed anak. Anak pun akan bangga jika ortu mereka menjadi bagian dari dunianya. 

Ortu di sosmed bukan lagi 'pengawas' anak. Baiknya anak pun harus faham jika ortu mem-follow bukan sekadar mengawasi. Tapi menjadi bagian dari mereka. Jika di dunia nyata anak-ortu dalam satu keluarga. Begitupun di dunia maya, mereka pun harus tetap keluarga. Jika sang anak memang dari awal sembunyi-sembunyi soal akun sosmednya. Baiknya ortu harus berdiskusi dengan anak soal ini.

Maka, biar orangtua yang dianggap 'gaptek' ada baiknya memahami sedikit soal literasi digital. Karena di era IT, teknologi bukan lagi sekadar alat. Namun ia adalah artefak kebudayaan, dan refleksi diri tiap kita manusia modern.

Artikel lain mengenai literasi digital:

Salam,

Wollongong, 6 Mei 2017

05:36 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun