Ayah: "Bagaimana kalau ayah follow Instagram-mu nak?"
Anak: "Hmmm... Emang ayah punya Instagram??"
Ayah: "Punya dong.. ."
Anak: "Yadeh... boleh deh yah.."
Percakapan diatas menjadi isu tersendiri bagi generasi milenial. Saat orangtua mereka tidak lagi gaptek (gagap teknologi), mereka bisa jadi terkejut. Ayah atau ibu yang mungkin berusia diatas 40-50 tahun mungkin baru kali pertama tahu WhatsApp. Itupun digunakan sekadar grup chat bapak-bapak. Atau baru bulan kemarin buat email dan daftar Facebook untuk tambah teman gaek. Jika tetiba membuat akun Instagram/Snapchat/Twitter, mungkin anaknya akan heran. Pun juga akan gelagapan jika ortu mereka mem-follow akun sosmed anaknya.
Bagaimana tidak resah dan gelisah hati sang anak. Karena semua curhat/foto/tindak tanduk dunia maya mereka bisa saja berbeda dengan aslinya. Saat di dunia nyata terlihat santun. Bisa jadi di dunia maya, sang anak kasar, urakan, bahkan nakal. Saat orangtuanya tahu apa yang terjadi, tak ayal bisa omelan dan hukuman buat sang anak.Â
Bisa saja anak akan membuat akun sosmed baru untuk mengakali. Namun dengan resiko, jika ortunya malah lebih pintar si anak bisa jadi malah kena omel lagi. Ortu bisa melihat dengan jelas tanggal postingan di akun sosmed anaknya bukan. Sulit mengakali data posting dan kadang juga lokasi. Apalagi sekarang ada fitur suggested friends/account. Suatu saat bisa saja ortu ketemu akun anaknya yang disembunyikan.
Hal ini terjadi jika dan hanya jika ortu melek literasi digital. Tahu benar-benar era Gen-Z saat ini, setiap orang memilki 'dua kepribadian'. Baca artikel saya: Memahami Identitas Diri di Sosmed.
Namun dari sisi humanis, layakkah oartu campur tangan sosmed anaknya? Apakah sudah begitu paranoid ortu sampai harus memonitor tindak tanduk anak di sosmed?
Dari sudut 'parents as guardian' atau sisi parenting, hal ini wajar saja. Karena toh dunia maa saat ini begitu 'mengerikan'. Ada berita soal grup yang mengeksploitasi seks anak. Ada juga berita teman dari seorang anak di FB menculik. Padahal mereka baru saja kenalan. Atau berita-berita hoax yang mengatasnamakan akun palsu seorang anak atau teman. Dunia maya seolah sudah lepas kontrol.
Apalagi saat anak atau remaja sudah begitu candu pada sosmed. Bisa jadi hal ini membuatnya tidak begitu ngeh pada realita. Karena realitas hidup dan mungkin keluarga mereka begitu pahit, sosmed adalah dunia euforis. Dunia yang mengaburkan pahitnya kehidupan buat mereka. Konsekuensinya, anak harus tampil sesuai apa yang menjadi tren. Beli baju/sneaker/gagdet baru. Jalan-jalan jauh atau ke tempat yang instagramable. Padahal hidupnya pas-pasan atau malah kurang mampu.