Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ramalan dalam Lagu Oemar Bakrie yang Tetap Aktual Hingga Kini

2 Mei 2017   09:46 Diperbarui: 2 Mei 2017   13:38 4348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua lirik ini sebenarnya berada dalam chord yang berbeda. Namun saya jadikan satu karena satu rangkaian maknanya. Sebuah fenomena tawuran antar sekolah yang sejak dulu menjadi penyakit dan warisan sekolah. Dan fenomena ini menjawab kebengalan murid di lirik sebelumnya. Berkelahi di lagu ini digambarkan begitu dramatis sampai polisi membawa senjata. Ditambah berwajah garang yang menyiratkan betapa perkelahian ini begitu gawat. Jarang rasanya perkelahian siswa di kelas dalam satu sekolah sampai membawa polisi ke tempat kejadian perkara.

Dan tawuran nampaknya tidak juga hilang di sistem sekolah di Indonesia. Tidak hanya di sekolah di kota besar, beberapa daerah pun membibitkan gejala tawuran ini. Bahkan ada di Semarang dua sekolah SD yang tawuran. Sudah begitu liar dan viralkah kondisi kebengalan siswa di Indonesia? Saat fenomena tawuran bukan lagi melekat pada tingkat SMP/SMA, anak SD pun bisa melakukannya. 

Bapak Umar Bakri takut bukan kepalang
Itu sepeda butut dikebut lalu cabut kalang kabut (Bakri kentut)
cepat pulang

Busyet... standing dan terbang

Wajar jika seorang guru pun akan menyelamatkan diri dengan pulang daripada menyaksikan tawuran. Namun yang menggelitik dari lirik ini adalah sepeda butut yang dikebut (lalu kentut) lalu standing dan terbang. Secara eksplisit kita akan memahaminya sebagai humor. Ditambah lagu ini pun bernuansa balada dengan ritme cepat dengan rima akhir kata yang serupa. Wajar jika ada bumbu humor untuk menggambarkan ketakutan seorang guru jika melihat tawuran muridnya.

Namun kembali, fenomena tidak perduli guru terhadap fenomena tawuran juga faktual saat ini. Karena hal ini terkait dengan deficit theory dalam pendidikan. Teori ini menyinggung bahwa siswa low-achievers akan selamanya tidak bisa mendapat kemajuan. Hal ini bukan menjadi 'salah' guru atau sistem pendidikan akan hal ini. Namun sifat ini adalah pembawaan (innate) dari siswa tersebut. Dan tawuran akan terus menjadi urusan siswa dengan diri dan atau orangtuanya.

Umar Bakri Umar Bakri
Pegawai negeri
Umar Bakri Umar Bakri
Empat puluh tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati

Umar Bakri Umar Bakri
Banyak ciptakan menteri
Umar Bakri
Profesor dokter insinyurpun jadi
(Bikin otak orang seperti otak Habibie)
Tapi mengapa gaji guru Umar Bakri
Seperti dikebiri

Dua baris lirik ini menjadi satu rangkaian 'tragedi' aktual guru di Indonesia. Sebuah isu yang diketahui merugikan guru. Namun pihak terkait tidak sepenuh hati dan upaya memperbaikinya. Dan bukan rahasia lagi, jika ganti Mendiknas maka ganti pula sistem pendidikan kita. Tak ayal, nasib guru pun akan terpengaruh. Saat gaji tunjangan guru tinggi. Begitupun work load dan tanggung jawab yang dibebankan pada guru.

Kembali gambaran guru sebagai pekerja ditegaskan dalam lirik ini. Jadi guru jujur berbakti memang makan hati menjadi aib yang dibiarkan terbuka di ruang publik. Masih banyak fenomena guru 'menggoreng' proyek sekolah atau penelitian. Tak lain hal ini dilakukan demi 'kesejahteraan' individu atau kelompok guru. Saat berbicara pemenuhan kesejahteraan, maka sikut sana sini bukan lagi hal yang luar biasa.

Ditambah gaji yang dikebiri, menggambarkan pesan profetika dalam lagu ini benar adanya. Sunat-menyunat gaji, tunjangan, atau sertifikasi menjadi rahasia bersama dibawah tangan. Antara oknum penyunat dan yang disunat sama-sama tahu. Dan yang terpenting ke dua belah pihak sama-sama untung. Namun benarkah demikian? Tapi daripada guru tidak menerima apa-apa sama sekali bukan.

Tepat jika guru akan selalu membuat mentri, dokter, insinyur atau Habibie baru di negri ini. Namun mereka kadang lupa siapa guru mereka dahulu. Banyak yang masih sekadar ingat guru mereka dulu. Namun sedikit yang kembali mengapresiasi guru mereka. Murid-murid yang guru ajar tentu diharapkan menjadi orang besar nanti. Menjadi seorang yang mereka cita-citakan sendiri. Dan guru mungkin akan tetap menjadi guru seperti Oemar Bakrie yang sudah 40 tahun mengabdi.

Adakah pesan dan makna dalam lagu ini tidak sesuai nasib dan keadaan guru saat ini? Inginnya saya, pesan dalam lagu ini menjadi sejarah. Bukan lagi pesan profetis yang menggambarkan kejadian 10-20 tahun ke depan. Walau guru menjadi satu elemen dalam pendidikan. Namun akankah ada pendidikan tanpa guru?

Selamat Memperingati Hardiknas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun