Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saya, Kompasiana, dan Obat Pembesar Mr. P

1 Mei 2017   23:43 Diperbarui: 2 Mei 2017   08:59 1504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mata Kucing dalam Black Cat (Hidden Message) - ilustrasi: boredpanda.com

Kompasianers beberapa bulan ke belakang terganggu dengan komentar obat pembesar Mr. P. Saya sendiri segera menghapus pesan spam seperti ini. Beberapa mungkin langsung melapor admin agar akun spam komentar untuk di suspend. Tentu komentar spam ini mengganggu karena benar-benar OOT (out of topic). Karena jika menyangkut organ intim di forum publik seperti ini maka akan segera dianggap tabu. Ranah tersebut lebih personal dan tertutup.

Saya tidak akan banyak menyoal right-or-wrong komen spam seperti yang terjadi di Kompasiana. Karena jika ditakar dari parameter social value, spam tersebut memang tidak pantas. Toh ada forum khusus atau bahkan spam email untuk dimanfaatkan penjual obat pembesar. Saya akan coba menelisik imagery atau pertautan tanda-pertanda yang terjadi dari fenomena komen obat pembesar Mr. P ini.

Dari perspektif si akun penyebar spam, Kompasiana adalah lahan 'basah'. Karena traffic Kompasiana memang tinggi. Buktinya Kompasiana sering mengalami heavy traffic di peak hours sehingga Kompasianer sulit publish artikelnya. Ditambah beberapa kali maintenance server atau error menyisipkan kalau Kompasiana memang ramai. Tingkat keterbacaan yang tinggi menjadi faktor ekonomis penjual obat pembesar.

Membuat akun di Kompasiana  dan email pun gratis. Tidak perlu mengunggah data pribadi agar dapat centang hijau atau biru disini. Saat satu akun di-suspend, pastinya penjual akan membuat akun lain dengan email lain. Mungkin juga di Kompasiana, sudah ada oknum yang membuat banyak akun kloningan untuk tujuan tertentu. Dari mulai tujuan ekonomis, politis, maupun personal akun Kompasiana bisa menjadi 'komoditas' menguntungkan.

Dan saat 'sampah virtual' berupa komentar spam obat ini, maka benak kita memiliki caranya mengasosiasikan tanda-petanda. Mau tidak mau ada pembaca atau Kompasianer yang 'tertarik' membeli obat seperti ini. Toh Kompasianer lain tidak akan pernah tahu jika kita menghubungi penjual. Karena sudah ada 'space ketiga' yang lebih personal antara penjual dan pembeli melalui telepon atau email.

Jika komen spam ini semakin merajelala dan populer, mau tak mau fikiran kita akan mengaitkan kolom Kompasiana dengan obat pembesar Mr. P. Saat sebuah tanda begitu konstan dan berulang, maka terjadi kompromi (compromise) dan pemakluman (postulate) dalam fikiran kita. Saat kita mengkompromikan komentar spam ini, banyak yang mungkin akan cuek karena capek mengurusi mereka. Admin yang merangkap pembaca akan terus sibuk melaporkan akun penyebar spam ini tentunya. Fikiran kita pun memaklumi hal ini sebagai common error saja. Sesuatu yang akan benar dengan sendirinya karena error-nya menjadi bagian dari entitas tersebut.

Coda tentang seksualitas tidak hanya terjadi dengan vulgar. Komentar spam seperti ini mau tidak menjadi sebuah coda (petanda) keseksualitasan. Ada ranah intimasi dan personal dalam tiap komentar spam yang disampaikan penjual. Komentar ini tidak sekadar lagi jualan atau buka lapak semata. Yang terjadi adalah rantai demand-and-supply yang terjadi di belakang layar. Transaksi terjadi di ranah digital berupa akun dan nomor telepon, tak perlu lagi tatap muka.

Dapatkah pesan spam seperti ini dihilangkan dari Kompasiana? Sayangnya, jawabannya tidak. Antara penjual (pengiklan) dan hirarki teknis admin, spam tidak mungkin dihilangkan. Bak sebuah slapstik kartun Tom and Jerry, ada saja cara mengakali pihak satu dengan yang lain. Dan tanda-petanda yang berkelindan dalam fikiran kita soal obat pembesar Mr. P akan hinggap. Konsumen iklan seperti ini pun saya yakin tidak saja di dominasi lelaki, mungkin juga perempuan.

Tinggal bagaimana wacana hiperrealitas tanda di kepala kita seperti ini kita fahami bersama. Kompasiana adalah ruang publik serupa lalulintas di jalan raya. Setiap orang bisa menyampaikan pesannya. Baik dengan billboard besar dengan biaya yang cukup besar. Atau iklan Badut Sulap atau Sedot WC berukuran A4 yang ditempel gratis di tiang-tiang listrik sepanjang jalan. Semuanya adalah polusi tanda-petanda. 

Semakin kita sering melihat dan mengasosiakan tanda-petanda ini. Semakin lekat dan bersedimentasi pula semiotika tanda ini dalam fikiran kita. Kita mungkin tidak mau menelepon atau memesan Badut Sulap untuk diri kita. Bisa saja kita memesannya untuk orang lain. Dan kita ingat dimana iklan Badut Sulap tadi ditempel.

Salam,

Wollongong, 2 Mei 2017

02:43 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun