Emansipasi adalah sebuah bandwagon harapan kaum perempuan dahulu dan saat ini. Saat pola patriarkal di jaman R.A Kartini melabeli perempuan dengan 3M (Masak, Macak, Manak), coba dilebur. Kini emansipasi perempuan pun didapat. Di dalamnya ada hak persamaan pendidikan, peran gender, karir, jabatan, sampai fasilitas publik. Semua orang kini sudah faham emansipasi itu apa. Tidak ada lagi pengekangan atas salah satu hak perempuan di era modern ini.
Namun pertanyaannya saat ini adalah, apakah dengan emansipasi saja sudah cukup?
Nyatanya masih ada kesenjangan yang secara kultural dan alami tidak bisa digapai. Secara kultural, beberapa adat masih melekat pada perempuan peran pseudo-3M. Kenapa harus pseudo? Karena saat perempuan tidak bisa memasak (masak), berdandan (macak) dan melahirkan (manak) ada selentingan stigma sosial. Selentingan atau pseudo ini yang kadang muncul dari orangtua, sanak famili dan rekan. Dengan semua anggapan yang (memang) negatif.
Karena juga pseudo, perempuan bisa memilih menjadi perempuan single dan berkarir. Tidak perlu lagi repot-repot berdandan untuk pasangannya. Tidak perlu pula bisa masak, karena sudah cukup secara finansial untuk membeli makanan atau dibuatkan makanan. Ditambah, banyak pula yang memilih menunda atau tidak memiliki anak karena takut karirnya terganggu. Walaupun ia sudah berumah tangga.
Benar adanya emansipasi di era modern difahami dan diaplikasikan di kehidupan kita. Emansipasi ini berjalan paralel dengan budaya dan tatanan sosial yang juga cenderung berfokus pada hirarki yang menjadikan lelaki superior. Kedua aspek ini berjalan harmonis walau turbulensi kasuistik dengan konteks adat dan budaya tertentu masih terjadi.
Perempuan saat ini pun kiranya tidak butuh hanya emansipasi. Sebuah kata dengan ribuan keistimewaan yang menjadi pengokoh peran perempuan ini memang dibutuhkan. Ada beberapa hal yang Kartini 'modern' harus faham.
Pertama adalah tatanan adat dan budaya. Emansipasi tidak bisa disangkal adalah budaya Barat yang R.A Kartini pelajari dari buku dan studinya ke Belanda. Bagaimana Kartini pada waktu itu terkesan dengan gerakan Feminis Eropa. Dan perlunya perempuan pribumi dengan nasib yang masih 'tertindas' budaya yang ada perlu diberikan hak yang sama. Sebuah keinginan luhur yang menjadikan perempuan memiliki peran berarti dalam kehidupan. Dan syukur, hal ini pun tercapai saat ini berkat perjuangan literasi dan pergerakan beliau.
Sayangnya, banyak perempuan yang disebut Kartini modern cenderung tidak mau tahu budaya tempat mereka lahir. Saya pribadi tidak mencoba mengenaralisir isu ini. Mungkin Anda melihat fenomena dimana perempuan kini ke-Barat-baratan, ke-Timur-Tengahan, dan ke- ke- yang lain. Kadang mereka lupa melihat ke-diri sendiri dimana budaya dan adat mereka dibesarkan dan dijunjung.
Tidak ada yang salah dengan 3M bukan? Akan lebih dihargai jika perempuan bisa merawat suami dan anak-anak dengan pintar masak. Lelaki mana juga yang tidak senang melihat pasangan atau istrinya pintar berdandan. Ditambah, bukankah sebuah keluarga mengidamkan buah hati. Sebuah kodrat alami yang lelaki modern pun sulit untuk bisa melahirkan. Saat perempuan bergerak di kehidupan emansipasi dengan menjunjung tinggi adat, seolah kesempurnaan perempuan Indonesia terpancar.
Kedua adalah garis patriarkal dalam kehidupan perempuan. Bukan maksud saya pun meng-highlight kebesaran pola keayahan dalam budaya kita. Namun fenomena lelaki sebagai pemimpin dan pengatur kehidupan perempuan tidak bisa juga dipungkiri. Andai kaum purist patriarkal mungkin masih ada, bisa jadi perdebatan menyoal emansipasi akan terus terjadi.Â
Emansipasi pun menjadi sebuah konvensi tidak tertulis manusia modern saat ini. Walau mungkin kaum lelaki ada yang merasa risih dipimpin oleh seorang perempuan. Ataupun merasa tidak dihormati saat tidak bergaji lebih besar dari istrinya. Namun emansipasi diantaranya secara profesional dan kekeluargaan bisa dipahami bersama. Tidak ada perselisihan selama kedua pihak memiliki cukup pengetahuan dan pemahaman atas emansipasi.Â
Lelaki yang belum menerima dan memahami emansipasi dalam fungsi sosial dan keluarga mungkin terlalu acuh dengan hebatnya perempuan dengan hal ini. Saya pribadi tidak melihat banyak deviasi emansipasi. Kaum perempuan dengan emansipasinya bisa menempatkan dirinya dengan baik di mata lelaki. Mungkin juga ada beberapa kasus perempuan yang begitu angkuh melihat pola patriarkal sebagai pengekang kehidupan mereka. Namun sepertinya isu ini hanya terjadi di negri Barat.
Disini, sentuhan perempuannya untuk membuat perspektif budaya dan kaum lelaki dapat menjawab tantang jaman bisa beliau buktikan. R.A Kartini adalah seorang perempuan yang visioner. Namun dengan tetap teguh berpijak pada budaya dan adat yang membesarkannya.
Tantangannya kini adalah, adakah 'penyimpangan' emansipasi itu di era modern saat ini? Baiknya kita tatapi benar foto R.A Kartini dengan kebaya dan sanggul khas Jawa-nya. Andai beliau mau, mungkin beliau akan berpakaian ala perempuan Barat bukan? Toh beliau mampu dan pernah belajar di Belanda. Namun nyatanya tidak. Beliau tetap perempuan Jawa yang perduli kaumnya, sampai saat ini.
Artikel saya soal Kartini:Â
Kepada Kartini yang Bangun Siang Hari
Salam,
Wollongong, 22 April 2017
08:40 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H