Pada konteks kritikal, contoh sederhana adalah berita hoax lewat grup chat. Betapa dahsyat dampak berita yang bagi kita begitu menarik berdasar SARA, pilihan calon pemimpin, parpol, dll. Namun ternyata begitu menipu dan merugikan bagi sebagian orang. Begitupun pada konteks retoris yang mencoba menrefleksi teknologi pada kehidupan manusia.Â
Contohnya adalah konflik jasa transportasi online dan konvensional. Saat inovasi teknologi global berbenturan dengan medium ke-lokalan, maka gesekan tidak dapat dielakkan.
Jika kita coba kecilkan gap DDiv di Indonesia ini, katakanlah, 10-15 tahun ke depan ditanggulangi dengan aspek infrastrutur semata. Sehingga kesetaraan akses, teknologi, sumber daya, dll di seluruh Indonesia tercapai. Namun apakah dunia akan berada di tahap yang sama 10-15 ke depan? Apa yang terjadi mungkin saja DDiv yang lebih besar dan kompleks.
Ada baiknya DDiv kontemporer ini dibarengi dengan literasi digital yang baik. Dan semua dimulai dari sekolah. Saat guru tidak sekadar mengaplikasi teknologi dengan pola drill-and-kill, maka wacana holistik ICT bisa difahami. DDiv antar generasi merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Namun jangan sampai DDiv dalam perspektif holistik (fungsional, kritikal, dan retoris), dipelajari secara parsial.
Referensi: Buku Putih Kominfo 2015 | Google and Digital Divide by Elad Segev, 2010 | Multiliteracies for a Digital Age by Stuart A. Selber, 2004 | The Digital Divide by Beth Braverman, 2016 |Â
Artikel menyoal literasi digital:
- Kita Internet dan Psychosocial Moratorium
- Telisik Berita Hoax dengan Digital Dieting
- Apa Kamu Termasuk Digital Natives?
Salam,
Wollongong, 18 April 2017
12:25 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H