Kita serupa untaian manik-manik yang disusun dari beragam pengalaman, prinsip, dan kultur di luar diri kita. Sebuah entitas superego yang menangkup erat id. Dorongan diri menjadi diri sendiri adalah semua yang sudah kita lihat dan pelajari. Kita tidak dilahirkan dengan blueprint khusus seperti para nabi atau orang suci. Kita adalah apa yang secara empiris kita rasakan untuk diolah sendiri.
Benarkah ada 'diri sendiri' saat eksistensi kita dimulakan dengan esensi hidup yang sudah ada. Kitapun sudah dipre-determinasi bahkan sebelum kita memiliki keinginan untuk menjadi diri sendiri. Pilihan adalah ilusi dari ketidaksanggupan kita menjadi diri sendiri. Kita bisa memilih agama, faham, falsafah, budaya, negara, dll. Namun mereka sudah ada bahkan sebelum kita bisa membuat sesuatu itu ada.
Faham marxisme ada karena ada kegelisahan akibat kesenjangan kaum proletar dan borjuis. Demokrasi lahir saat ada keinginan menjalankan negri terlepas dari cengkraman monarki. Radikalisme lahir karena opresi dan stigma sosial bagi sebagian orang yang terkunkung kebebasaanya. Altruisme dan egalitarian menjadi jalan hidup karena secara instingtif kita memiliki simpati dan empati. Bahkan agama pun muncul karena manusia memiliki kasih dan kebaikan yang secara eklestial kita fahami bersama. Atau sub/pecahan faham/falsafah yang kita tahu hanyalah ketidakpuasan dari aliran mainstream.
Lalu adakah 'diri kita' dalam kehidupan yang kita jalani? Sebuah pertanyaan yang sudah saya coba bongkar dan susun kembali dalam tiap fikiran kita.
Salam
Wollongong, 10 April 2017
11:50 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H