Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebuah Dekonstruksi Istilah "Jadilah Diri Sendiri"

10 April 2017   20:50 Diperbarui: 11 April 2017   12:30 2722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Just be yourself!"

"Jadilah diri sendiri!"

....atau istilah motivasional lainnya, yang sangat diragukan 'diri sendiri' itu seperti apa? Banyak yang secara 'superficial' melihat diri sendiri, ya diri sendiri. Seorang pribadi apa adanya. Dengan beragam bakat atau kemampuan, menjadi individu berbeda. Individu yang tidak serupa orang lain. Intinya, tidak perlu meniru, mengkopi, memimikri, atau mengimitasi orang lain. Ya, jadilah diri sendiri.

Namun, benarkah diri kita adalah diri kita sendiri? Coba lihat lebih dalam.

Dari tubuh yang menjadi wadag kasar kita sebagai manusia bukan dari diri sendiri. Tubuh ini adalah jutaan, milyaran atau trilliunan carbon yang disatukan. Sejak dari janin ia dibentuk oleh rahim dan nutrisi ibu kita. Saat kita tumbuh pun, banyak yang akan menyebut diri kita mirip ayah/ibu. Atau secara parsial, hidungnya mirip ayah tapi tidak dengan dahinya, dll. Kadangpun ada masanya orang dekat sekitar kita berucap sifatmu mirip ayah/ibumu. Atau mirip kakek/nenek. 

Dan sepanjang hidup kita pun, kita pun dibetuk dari brikolase semua hal yang kita temui. Kita comot brikolase ini untuk diuntai menjadi sebuah tenunan ornamen karakter. Yang dengan sederhana kita sebut, 'Inilah diri saya'. 

Sejak kecil, label agama A/B/C sudah dilekatkan di diri kita. Apakah kita memintanya? Apakah kita bertanya soal agama A/B/C ini mengapa harus saya peluk? Namun seiring jalan, kita memahami, mengkaji dan bagi beberapa orang menginternalisasi. Lalu menemukan di agama sebuah 'Aha moment'. Maka jadilah ia pemeluk setia dan penyebar pesan damai agama A/B/C ini. Kita tidak pernah membuat 'agama kita sendiri' bukan? Agama sudah ada sebelum kita lahir. Diciptakan melalui wahyu lewat orang-orang suci masing-masing agama. Dimanakah posisi/entitas 'diri sendiri' dalam agama?

Saat SMP kita begitu kagum dengan pemikiran demokrasi ala dunia Barat. Sebuah faham berasal dari negara asing yang nampaknya tepat sebagai penunjang mahluk sosial abad 21. Namun saat SMA dan kuliah aliran kiri komunisme merasuk fikiran kita. Banyak ketimpangan yang membuat kita ragu sistem demokrasi. Perlu adanya perlawanan. Seolah faham-faham ini benar, kita berdiri diatas opini dan fakta dari orang di negara lain. Lalu dimana diri saat faham ini sudah dijalankan, dipedomani, dan dipelajari banyak orang? Kita tidak menciptakan faham kita sendiri bukan?

Saat masih muda, hidup dipenuhi inspirasi dan motivasi orang-orang besar lewat bukunya. Semua hal duniawi bisa diraih dengan usaha dan upaya, apapun itu. Persis seperti usaha jatuh-bangun ala Dale Carnegie. Atau memulai usaha seperti Chairul Tanjung yang jatuh bangun. Atau terinspirasi menjadi negarawan atau politisi seperti Bung Hatta. Adapun menjadi teknokrat dan nasionalis ala B.J Habibie bisa menjadi inspirasi sebgaian orang. 

Namun saat menjadi tua dan berkeluarga, semua motivasi ini hanya di buku. Ada realita hidup yang menjadikan kita mencampur aduk semua hal. Ada kegigihan mencari uang serupa Chairul Tanjung. Ada jiwa nasional yang dipetik dari kisah Bung Hatta. Jugapun, perjuangan lewat ilmu membela bangsa dari B.J Habibie. Semua menjadi bagian dari perspektif kita saat menua. Lalu dimana 'diri sendiri' sebenarnya?

Soal selera estetik dan seni pun kita tidak bisa menjadi 'diri sendiri'. Dari kecil orangtua senang akan lagu-lagu dangdut. Walau besar kita tidak ingin suka dangdut karena dianggap kampungan dan udik. Kita pun memiliki band rock atau pop. Inipun dipengaruhi teman yang dipengaruhi temannya yang mendengar musik rock. Ada saatnya nanti, dangdut adalah musik yang kita dengar. Mungkin saat kita pun menua. Atau saat mengenang kembali orangtua yang sudah mendahului kita. Jadi dimana diri kita dalam hal ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun