Sepertinya para 'pengadu domba' negri ini sudah semakin gerah. Saat aksi-aksi mereka dengan media Pilkada tidak juga bisa menggoyang pemerintah. Maka dibawalah trauma tragedi 1998 itu ke muka kita. Di aksi 313, beberapa oknum menempeli mobil dengan stiker 'pribumi'. Saya sebagai anak yang merasakan kekacauan tragedi 98 benar-benar tidak habis fikir.
Masih jelas di ingatan saya toko-toko yang ditulisi Pilox 'Pribumi!'. Semua hanya agar penjarahan dan pembakaran tidak terjadi. Sedang toko-toko yang dianggap dimiliki etnis Tionghoa segera dijarah dan dibakar. Ada juga yang mengabarkan pemerkosaan perempuan Tionghoa. Sebuah luka lama yang sebenarnya tidak ingin saya ceritakan. Mungkin akan ada pembaca yang trauma dan merasa ngeri mengingatnya kembali. Maaf dan doa juga saya haturkan bagi para korban.
Namun faktanya, ada oknum yang mencoba mengorek luka lama yang saat kini kita masih coba obati. Benar-benar hal yang saya anggap tidak pantas.
Seorang rekan kuliah saya yang berasal dari Tiongkok sempat bertanya soal tragedi 98 ini. Ia membaca salah satu artikel yang mengabarkan 'genosida' orang Tiongkok di Indonesia pada tahun 1998. Karena tidak semua orang  Tiongkok ternyata tahu tragedi ini ujarnya. Ia mengetahuinya pun dari artikel yang ia cari secara 'diam-diam'. Karena pemerintah PRC sangat ketat memfilter informasi soal tragedi ini ujarnya.Â
Saya sempat tergagap menjawab soal ini. Saya hanya menjawab hal ini karena konflik politik. Dan hal ini menjadi aib yang kini kami coba perbaiki. Rekan saya dari Tiongkok ini pun meminta maaf jika pertanyaan ini menyinggung diri saya. Karena jujur, saya merasa malu pada bangsa sendiri. Mengapa tragedi ini terjadi?
Dan mengapa ada saja oknum yang tak bertanggung jawab menguak kembali isu 'pribumi-non atau pribumi' ini!!
Karena saya yakin kita yang berusia 30-40 tahun akan menciptakan konteks negatif saat mendengar kata 'pribumi' ini. Seperti halnya ingatan saya mengingat tembok-tembok toko yang ditulisi 'pribumi'. Sedang yang tidak akan dibakar dan dijarah. Bukankah kata 'pribumi' akan menyangkut tragedi 98. Bagi yang lahir tahun 2000-an mungkin akan bingung membingkai konteks ini.Â
Walau anak-anak muda bisa membaca dari media soal tragedi 98 dan konspirasinya. Namun bagi saya merasakan hawa dan suasana di hari itu saja sudah merasa ngeri. Banyak korban jiwa juga waktu itu. Banyak orang yang terbakar, sengaja ditembak, bahkan dipukuli menjadi teror tersendiri dalam fikiran saya. Maaf, belum lagi bagi para korban orang Tionghoa yang keluarga/sanak/saudaranya menjadi korban.Â
Saya yang menganggap diri saya 'pribumi', sedih melihat kata 'pribumi' ini dikuak kembali? Apalagi bagi mereka para korban? Bagaimana jika saya atau keluarga korban melihat banyak mobil berstiker pribumi sengaja dipasang di mobil-mobil di Jakarta? Â
Apa sih yang diinginkan oknum-oknum ini? Sudah habis akal dan taktik mereka memecah belah bangsa ini? Dari mulai isu PKI, asing dan aseng, komunis, sampai 'pribumi' coba mereka munculkan kembali. Belum cukup kotorkah tangan dan fikiran kalian pada bangsa ini?
Jangan insting xenofobis selalu menjadi alasan 'membenarkan' hal ini? Ketakutan pada pendatang tidak akan menjadikan seorang hidup dengan tenang. Kalian akan selalu terperangkap dengan fikiran yang sempit. Kalian pun akan selalu kotor hati. Seberapapun alim dan taat mungkin pada Tuhan. Tuhan tidak pernah meminta kalian memusuhi sesama mahluk ciptaan-Nya. Ada banyak pelajaran saat Tuhan menciptakan manusia berbeda berbangsa dan bersuku. Jika Ia punya kekuatan, bukankah bisa saja Tuhan menciptkan satu sku bangsa saja?