Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perspektif Lain dari Kasus Anggota Pramuka Makan di Atas Rumput

26 Maret 2017   19:11 Diperbarui: 27 Maret 2017   18:00 1201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Informasi saat ini bergerak kilat dan real-time. Sosmed sebagai 'jendela' kedua pada dunia benar-benar menyuguhi kebaruan (novelty). Namun di satu sisi, sosmed juga membuat informasi cepat basi (obsolete). Fokus kita pada informasi bergeser cepat secepat kita men-scroll pesan WA yang terlalu panjang. Detail pada informasi kadang sudah kita fahami dengan judul. Untuk menunjang opini di dunia nyata, foto juga disertakan. Entah foto tersebut asli atau editan, unsur novelty itulah yang penting.

Seperti kasus pramuka yang dihukum untuk makan di atas rumput di Tangerang, Banten. Sontak foto yang beredar soal hukuman ini membuat netizen geram, heran sekaligus prihatin. Dari sisi humanis, kasus ini tidak sesuai dengan nurani kemanusiaan. Dari sisi konvensi kepramukaan, hal ini pun menyalahi aturan yang ada. Entah apa yang difikirkan panitian saat itu. Senang? Kesal? Atau balas dendam.

Berkat unggahan foto model hukuman seperti ini, membuat rasa bersalah panitia akhirnya muncul. Mereka pun meminta maaf atas 'kesalahan' yang mereka buat. Toh pada saat menghukum seperti itu, panitia merasa juniorlah yang bersalah. Sebagai junior mungkin hanya bisa patuh saat itu. Karena mereka bersalah dan dipersalahkan. Namun kini hal itu berbalik kepada panitia.

Saya mencoba mencari perspektif dari kasus ini. Mungkin juga kasus-kasus lain yang sempat viral di dunia sosmed. Seperti kasus penyiksaan senior pada junior IPDN, pemukulan kakek tua di Trenggalek, kasus nenek minta air panas di kereta dll, memilki kesamaan. Pertama, semua informasi ini berasal dari pihak yang melihat langsung on-the-spot. Serupa dengan sifat citizen journalism dimana orang biasa bisa menyebarkan informasi. Kedua, informasi memiliki pola yang sama, baik digital atau non-digital.

Data, Information, Knowledge, Wisdom Hierarchy Model (DKIW) - diadaptasi dari Welsh: 2010
Data, Information, Knowledge, Wisdom Hierarchy Model (DKIW) - diadaptasi dari Welsh: 2010
Pada hierarki DKIW diatas, informasi serupa kasus Pramuka tadi dimulai dari Data. Data yang dimiliki seorang saksi di tempat kejadian menjadi Information untuk orang lain. Saat Information sudah diketahui orang lain, baik individu atau khalayak via mulut atau sosmed, Information pun menjadi Knowledge. Knowledge disini bukan sekadar tahu, namun hasil dari mensintesis kausalitas, mencari sisi relasional, dan membahas analogi. Apakah informasi ini memiliki dampak tertentu untuk orang lain? Apakah ada yang diluar konvensi dari informasi yang ada? Apakah ada kesamaan dengan informasi yang sudah ada?

Saat ada anomali yang terjadi pada data yang didapat, maka norma, nurani, dan budaya menyaring Knowledge untuk menjadi Wisdom. Wisdom atau prinsip berkehidupan soasial ini menjadi titik kulminasi hierarki ini. Data yang sesuai dengan Wisdom akan 'klik'. Sedang yang menyimpang akan menjadi masalah. Persis dengan kasus-kasus yang viral di medsos. Bedanya, kini informasi begitu mudah direkayasa. Kita harus mampu menyaring kebenaran informasi. Baca artikel saya Telisik Berita Hoax dengan Digital Dieting.

Kasus Pramuka dihukum makan bersama di atas rumput ini menjadi satu dari sekian banyak kasus yang viral. Jika dahulu radio, koran, dan televisi menjadi sumber informasi primer. Portal berita pun sempat menjadi salah satu referensi primer informasi. Namun, kini sosmed menjadi portal informasi yang lebih personal dan real-time. Namun hirarki DKIW diatas masih sama. Bedanya, kini apa yang berada dalam fikiran kita begitu cepat dan membutuhkan kebaruan. Namun informasi obsolete pun menjadi pengetahuan bersama agar tidak lagi berulang di masa depan.

Bagi digital natives, informasi mungkin menjadi bak udara dalam kehidupan digital. Sosmed pun menyediakan hal ini. Dengan hanya one-click, semua bisa dibaca dan disebarkan. Dan kadang viralitas yang muncul pun tidak terkendali. Semoga kita bisa lebih bijak dalam memahami literasi informasi di dunia digital saat ini.

Referensi: Welsh, Teresa & Meliissa Wright, 2010. Information Literacy in Digital Age

Salam,

Wollongong, 26 Maret 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun