Informasi saat ini bergerak kilat dan real-time. Sosmed sebagai 'jendela' kedua pada dunia benar-benar menyuguhi kebaruan (novelty). Namun di satu sisi, sosmed juga membuat informasi cepat basi (obsolete). Fokus kita pada informasi bergeser cepat secepat kita men-scroll pesan WA yang terlalu panjang. Detail pada informasi kadang sudah kita fahami dengan judul. Untuk menunjang opini di dunia nyata, foto juga disertakan. Entah foto tersebut asli atau editan, unsur novelty itulah yang penting.
Seperti kasus pramuka yang dihukum untuk makan di atas rumput di Tangerang, Banten. Sontak foto yang beredar soal hukuman ini membuat netizen geram, heran sekaligus prihatin. Dari sisi humanis, kasus ini tidak sesuai dengan nurani kemanusiaan. Dari sisi konvensi kepramukaan, hal ini pun menyalahi aturan yang ada. Entah apa yang difikirkan panitian saat itu. Senang? Kesal? Atau balas dendam.
Berkat unggahan foto model hukuman seperti ini, membuat rasa bersalah panitia akhirnya muncul. Mereka pun meminta maaf atas 'kesalahan' yang mereka buat. Toh pada saat menghukum seperti itu, panitia merasa juniorlah yang bersalah. Sebagai junior mungkin hanya bisa patuh saat itu. Karena mereka bersalah dan dipersalahkan. Namun kini hal itu berbalik kepada panitia.
Saya mencoba mencari perspektif dari kasus ini. Mungkin juga kasus-kasus lain yang sempat viral di dunia sosmed. Seperti kasus penyiksaan senior pada junior IPDN, pemukulan kakek tua di Trenggalek, kasus nenek minta air panas di kereta dll, memilki kesamaan. Pertama, semua informasi ini berasal dari pihak yang melihat langsung on-the-spot. Serupa dengan sifat citizen journalism dimana orang biasa bisa menyebarkan informasi. Kedua, informasi memiliki pola yang sama, baik digital atau non-digital.
Saat ada anomali yang terjadi pada data yang didapat, maka norma, nurani, dan budaya menyaring Knowledge untuk menjadi Wisdom. Wisdom atau prinsip berkehidupan soasial ini menjadi titik kulminasi hierarki ini. Data yang sesuai dengan Wisdom akan 'klik'. Sedang yang menyimpang akan menjadi masalah. Persis dengan kasus-kasus yang viral di medsos. Bedanya, kini informasi begitu mudah direkayasa. Kita harus mampu menyaring kebenaran informasi. Baca artikel saya Telisik Berita Hoax dengan Digital Dieting.
Kasus Pramuka dihukum makan bersama di atas rumput ini menjadi satu dari sekian banyak kasus yang viral. Jika dahulu radio, koran, dan televisi menjadi sumber informasi primer. Portal berita pun sempat menjadi salah satu referensi primer informasi. Namun, kini sosmed menjadi portal informasi yang lebih personal dan real-time. Namun hirarki DKIW diatas masih sama. Bedanya, kini apa yang berada dalam fikiran kita begitu cepat dan membutuhkan kebaruan. Namun informasi obsolete pun menjadi pengetahuan bersama agar tidak lagi berulang di masa depan.
Bagi digital natives, informasi mungkin menjadi bak udara dalam kehidupan digital. Sosmed pun menyediakan hal ini. Dengan hanya one-click, semua bisa dibaca dan disebarkan. Dan kadang viralitas yang muncul pun tidak terkendali. Semoga kita bisa lebih bijak dalam memahami literasi informasi di dunia digital saat ini.
Referensi: Welsh, Teresa & Meliissa Wright, 2010. Information Literacy in Digital Age
Salam,
Wollongong, 26 Maret 2017
11:11 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H