Setelah kata aku, ia yang menulis akan mengingat perjuangan bertemu kekasihnya. Ia akan mungkin juga teringat wangi parfum sang kekasih. Rambutnya yang terurai, atau bibir merahnya yang merona menjadi semesta makna.Â
Seusai kata cinta, betapa ia yang menulis bergetar hati dan tangannya menulis kata ini kawan. Sekejap dalam fikirannya, ada adegan cinta dari sinetron yang pernah ia lihat. Ada bayangan ayah dan ibunya yang sudah menjalin cinta berpuluh tahun. Juga, cinta yang pernah hilang dari dirinya.Â
Dan setelah kata dirimu ada kehampaan yang merongga. Banyak pertanyaan berkecamuk. Apakah sang kekasih menerima cintanya? Bagaimana jika ia menolak. Tidak pernah ada rencana B untuk menjadi teman saat meminta cinta kawan. Bagaimana jika sang kekasih malah menjauh? Atau ia belum siap akan semua.
Perhatikan tiap spasi atau tiap diam antar kata kawan. Apalagi jika kamu membaca tulisanku yang berpanjang-panjang ini kawan. Kamu tidak pernah tahu apa yang terjadi dari tiap jarak kata ini ingin sampaikan kawan.
Ada topeng yang ingin aku ciptakan dengan kata. Namun wajahku tertutup rapat di tiap spasi yang aku buat kawan. Betapapun kamu memahaminya, penjara kosakata ini yang tetap membuat fikiranmu faham apa yang aku sampaikan.
Serupa dengan pencoleng pembuat fitnah diantara kita kawan. Ataupun para penyampai kalimat tuhan kawan. Semua yang mereka tulis berisi semesta makna. Tidak dengan kata yang mereka tulis. Namun diantara spasi tiap kata yang tulis, mereka hidup. Memilih dan memilah kata dengan pengetahuan, perasaan, cita dan karsa mereka.
Penulis seperti diriku adalah penopeng dari kenyataan, perasaan, dan semesta makna yang ada dalam diriku. Aku hanya sajikan dengan kesepakatan bersama bernama kosakata.Â
Artikel serupa: Saya Hidup Diantara Spasi Kata-Kata
Salam,
Wollongong, 25 Maret 2017
10:11 pm