Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kita, Internet, dan "Psychosocial Moratorium"

15 Maret 2017   19:43 Diperbarui: 28 Mei 2019   13:33 1512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masks - ilustrasi: blogopen.rs

"For some people, cyberspace is a place to act out unresolved conflicts, to play and replay personal difficulties on a new and exotic stage." (Sherry Turkle)

Bagi beberapa orang, dunia siber menjadi tempat unjuk diri konfilk yang berkecamuk. Mereka bersenang-senang dengan kesulitan pribadi di fase baru dan lebih menegangkan.

Berapa banyak dari kita yang mengeluh di Facebook? Pernahkah pula 'curhat' dengan puluhan tweet? Berbagi perasaan dan masalah pribadi di dunia maya seolah menjadi katarsis psikologis. Dan saat ini netizen pun diramaikan dengan curhat seorang ibu di blog untuk selingkuhan suaminya. Semuanya berempati dan memberi solusi. Ada 'chemistry' yang timbul dari tulisan tadi untuk pembacanya. 

Apakah dengan mengeluh, curhat, berbagi konflik pribadi menyelesaikan masalah? Inilah yang Turkle, seorang psikolog MIT, menyebutnya sebagai 'play and replay personal difficulties'. Dan untuk 'new and exotic stage' bisa jadi puluhan like, comment, atau menjadi berita yang viral. 

Semua ini mengandung empati dan perhatian publik. Siapa yang tidak ingin dikasihani dan diperhatikan saat mengalami kesulitan. Namun tentu tidak semua menolong, walau ada hikmah yang tetap kita pelajari dari masalah yang dibagikan.

Turkle menjelaskan lagi bahwa 'People in chat rooms blur the boundaries between their on-line and off-line lives,...'. Apakah setiap masalah pribadi 'di-share' untuk konsumsi publik. Kenapa tidak? Karena ada jalan lain untuk melakukannya bukan. Dengan membuat akun yang bukan diri sendiri. Hal ini tentu akan lebih 'aman' dan 'bebas'.

Apa yang terjadi di dunia maya ini sudah dikaji oleh seorang psikolog di tahun 1960, Erik Erikson. Erikson saat itu menyebut gejala psikis ini Psychosocial Moratorium (PM). PM adalah fase di mana seseorang mencari identitas lain. Hal ini dilakukan untuk lari dari kenyataan hidup. 

Seseorang akan mencoba bermain dengan beragam peran dalam fase PM. Dan pada akhirnya menyerahkan diri pada satu identitas. PM banyak terjadi di usia remaja akhir atau sering dikaitkan dengan 'krisis identitas'.

Dan nyatanya, di internet kini PM menjadi 'wajah' baru dari kita yang ingin bebas dari kenyataan hidup. Dengan socmed, blog, atau milis kita bisa berkeluh kesah tanpa perlu repot menunjukkan siapa kita sebenarnya. Dengan akun anonim kita bisa pula mencerca dan menghina orang yang kita kenal. Tanpa perlu juga mention atau tag orang yang dimaksud. UU ITE yang sudah ditetapkan walau efektif. Namun, apakah sudah bisa menghilangkan cyberbully, body-shamming, revenge porn, dll?

Dan beberapa orang pun mungkin menjadikan dunia maya sebagai refleksi dari diri. Turkle mengidentifikasi fenomena sebagai 'cyborg self'. Cyborg sendiri adalah sebuah kata kompund yang berisi dua kata 'cybernetic organism'. Dengan kata lain, beberapa orang, mungkin juga kita, merefleksikan diri sebagai cyborg self di dunia maya. 

Ada organisme siber yang menjadi cermin diri. Ia bersifat organis karena identitas/akun kita begitu 'hidup'. Karena post, tweet atau artikel kita begitu hidup. Ada perasaan dan emosi yang dilibatkan di sana. Walau interaksi yang terjadi pun hanya berupa like, comment, retweet, reblog dll. Namun inilah fase eksotik tersebut.

Apakah ada ruginya kita melakukan hal ini?

Tergantung dari cara kita memahami literasi digital pada dunia maya. Karena semua jejak digital yang kita punya pada akhirnya mengarah pada kita. Dan secara emosional pun mungkin ada hal yang terus akan kita 'sembunyikan'. Walau yang kita rasa sudah 'tertumpahkan' diam-diam di dunia maya, namun secara psikologis akan tetap menjadi beban dalam jenak pikiran kita.

Fase PM ini pun akan tetap menjadi sebuah menara gading pribadi. Sebuah cara mencari dan memosisikan diri di dunia maya. Tentu dengan diri kita yang 'berbeda'.

Artikel terkait: Memahami Identitas Diri di Sosial Media

Referensi: 'Technology and Human Vulnerability: A Conversation with MIT Sherry Turkle. Harvard Business Review Mag, September 2003' | Pyschosocial Moratorium site

Salam,

Wollongong, 15 Maret 2017

11:43 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun