Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hati-hati dengan "Ndasmu"

25 November 2016   13:02 Diperbarui: 28 Mei 2019   15:18 2087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bermula dari tweet K.H Mustofa Bisri (Gus Mus) tentang jumatan di jalan tidak dianjurkan, seorang pemuda hampir digruduk dan dimaki netizen. Pemuda dengan akun @panduwijaya_ dengan kasarnya menjawab tweet dari akun Gus Mus @gusmugusmu. Kata kasar yang terlontar adalah kepalamu atau 'ndasmu' dalam bahasa Jawa. Sontak saja netizen yang mengerti dan hormat pada Gus Mus marah pada akun @panduwijaya_ yang bernama asli Pandu Wijaya ini. (berita selengkapnya disini)

Dan masalah ini pun sudah dapat mereda di Twitland. Pandu Wijaya telah meminta maaf. Bahkan Fadjroel Rahman, Presiden Komisaris tempat Pandu Wijaya bekerja telah menghaturkan maaf. Dan dengan sejuk, Gus Mus sudah memaafkan pemilik akun @panduwijaya_.

Kata ndasmu sendiri merupakan umpatan terkasar dalam bahasa Jawa. Ndas merupakan kata benda level terbawah untuk menggantikan kata kepala. Diatas kata ndas ada sirah (untuk level orangtua) dan mustoko (level untuk sastra dan konteks keraton). Dan kata ndas sendiri merupakan 'kepala' yang diperuntukkan untuk hewan. Contohnya adalah ndas pitik (kepala ayam) atau ndas kebo (kepala kerbau). Tidak lazim dan tepat menyematkan kata sirah untuk ayam, sirah pitik. 

Address level kata 'kepala' dalam bahasa Jawa ini merupakan social deixis dalam ranah sosiolinguistik. Kata ganti nomina untuk kepala ada ndas untuk hewan, sirah untuk orangtua, mustoko untuk sastra dan konteks keraton. Begitupun untuk kata ganti orang, kowe untuk kawan, dan panjenengan/njenengan untuk orangtua dan orang asing, Sistem pemilihan level kata ini disebut unggah ungguh boso dalam bahasa Jawa.

Jika tidak ingin dicap 'tidak sopan' di Jawa Tengah/Timur, hati-hati dengan penggunaan diksi Basa Jawa. Kehati-hatian ini tercermin jelas dalam axioma Jawa Ajining diri ono ing lati, ajining rogo ono ing busono. Jika diterjamahkan ke Bahasa Indonesia berarti martabat diri ada di lidah, dan martabat raga ada di busana. Mirip sekali dengan peribahasa Indonesia, mulutmu harimaumu. Jika berucap salah atau tidak tepat, tak ayal akibat negatif bisa didapat.

Dan penggunaan ndasmu untuk reply sebuah tweet yang sejatinya nasihat dari ulama yang dihormati, adalah salah. Dan dalam hal ini, jika kearifan lokal masih dipegang teguh, berucap kasar seperti tadi tidak bisa dibiarkan. Wajar jika orang-orang yang kenal dan hormat kepada Gus Mus naik pitam. Bukankah diskusi menyoal amali ibadah bisa didiskusikan dengan baik. Daripada melempar umpatan yang berakibat tidak baik.

Dan lebih baik lagi jika mereka yang tidak terima tweet dari seseorang bisa bertemu muka. Nasihat atau pengetahuan yang coba dibagikan dalam 140 karakter adalah pengetahuan yang mungkin sudah difahami dari bertumpuk buku dan referensi. Di dunia maya, dimana orang bisa bersembunyi dibalik anonimitas. Tetapi bukan berarti harus sebebas semaunya. Jangan akun sosmed yang dibuat menjadi alter ego serupa karya fiksi Dr. Jekyll and Mr. Hyde. 

Jika kita masih berfikir sosmed adalah instrumen atau alat pengganti ego kita, maka mindset ini kuno sekali. Sosmed dan secara luas teknologi sudah menjadi artefak peradaban kita di abad 21. Segala isu tentang kekuasaan dan isu populer menjadi bagian dari perkembangan teknologi dan manusia. Dan isu-isu seperti hoax, pishing, scamming, cyber-bully dll sudah menjadi eses negatif dari dunia teknologi. Ada baiknya kita kritis memahami sosmed dari sisi literasi digital. (Selengkapnya baca: Sosial Mediamu Bukan Kalkulator Kawan!)

Sosmed bukanlah tanah bebas tak bertuan. Disana banyak sekali pihak yang mengawasi, memprovokasi, membuat propaganda, dan segala hal yang negatif. Namun sosmed juga bisa menjadi medium posistif. Berbagi tips, ide, konsep, karya, atau sekadar branding diri dan produk dengan baik, menjadi sisi yang menguntungkan kita. Patut diingat, identitas diri kita di dunia nyata jangan sampai silang sengkarut di dunia maya. 

Isu identitas di persilang dunia maya dan nyata ini mungkin akan saya di artikel lain. Dan ada baiknya, kita harus tetap ingat bahwa Ajining diri ono ing lati lan sosmed.

Salam,

Wollongong, 25 November 2016

05:01 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun