Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sosial Mediamu Bukan Kalkulator, Kawan!

13 November 2016   06:05 Diperbarui: 27 Mei 2019   21:20 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak kenal dengan kalkulator. Sebuah alat untuk mengkalkulasi hitungan bahkan pecahan dan kalkulus. Sebuah teknologi yang dianggap sederhana di abad 21. Namun begitu hebat di awal abad 19 dulu. 

Kalkulator dikembangkan di tahun 1820 oleh Poleni yang diberi dahulu bernama Arithmometer. Arithmometer hanya digunakan untuk hitungan penambahan. Baru pada tahun 1984, kalkulator Curta bisa berhitung pembagian, penambahan, perkalian dan pecahan.

Seiring berjalannya perkembangan jaman, teknologi menjadi artifak peradaban manusia modern. Saat teknologi menjadi artifak peradaban, secara langsung akan berdampak pada kehidupan personal dan sosial. 

Secara sosial-psikologis kita akan lebih percaya hitungan kalkulator daripada hitungan manual. Kadang, kita belum pasti yakin benar jika belum menakan tuts di kalkulator. 

Pun, diciptakannya mesin absensi dengan sidik jari pun demikian. Kita lebih percaya komputer yang mencatat dan mendata kehadiran dengan mesin daripada sekadar absen tanda tangan.

Kepercayaan dengan teknologi ini yang membuat filter kita terhadap teknologi 'longgar'. Maksudnya adalah, kita percaya dan senang dengan teknologi daripada interaksi fisik, memahami bahasa non-verbal, mendengar tuturan, dll. 

Yang secara dunia nyata lebih terasa, saat ini sensasi berteknologi lebih berkesan. Apalagi saat sosial media (sosmed) muncul. Facebook dan Twitter di platform PC menjadi ajang bertegur sapa bebas. Namun platform aplikasi smartphone seperti WhatsApp, BBM, Instagram membuat komunikasi lebih personal. Aplikasi ini benar-benar mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat. 

Tak ayal, berita dan informasi kini bergerak dengan cepat dan diakses real-time. Orang yang memiliki smartphone bisa men-share apa yang mereka lihat dan akses di sosmed. Jutaan like, retweet, reblog, dll bisa menjadikan informasi viral. 

Baik jika informasi tersebut valid dan bermanfaat. Misalnya saat bencana alam dan setiap orang bisa menyumbang dana darurat. Namun tak dapat dipungkiri, sosmed pun bisa digunakan menyebar informasi hoaks, cyber-bully, phishing, spam, hate speech, SARA, atau berbau radikalisme, dll. 

Dan fenomena yang terjadi, kita menganggap semua yang berasal dari teknologi adalah 'benar'. Persis seperti kalkulator dan mesin absensi diatas. Karena teknologi secara halus menanamkan fungsi secara instrumental. Fungsinya pun bermanfaat. 

Tak ayal, kita pun cenderung percaya apa saja yang sosmed sajikan. Mungkin hal ini begitu dirasakan bagi non-native di ranah digital nativeness. Non-native ini diumpamakan orang yang baru pertama kenal dengan teknologi. Bahasan digital nativeness akan dibahas di artikel lain.

Dampak dari rasa percaya pada teknologi dan non-nativeness ini cenderung menyulut efek negatif. Berita hoaks mudah dan berita provokatif mudah saja disebarkan. Tanpa mencoba meneliti dan mengkroscek berita atau info tadi tentang kebenarannya. 

Smartphone tidak hanya memiliki sosmed, namun pasti memiliki search engine, baik Google, Safari, atau Bing. Namun nampaknya oknum yang menyebarkan berita hoaks memang memiliki agenda dan trik agar bisa menjadi viral berita tersebut.

Guna mengkounter efek negatif ini, ada baiknya sebagai user dari teknologi kita memahami literasi digital. Khususnya menyoal literasi kritikal (critical literacy). Yang secara singkat mengandung makna bahwa teknologi memiliki sisi kultur, kekuasaan dan isu populer pada peradaban manusia. Dan nampaknya hal ini yang belum banyak disentuh dalam pendidikan kita. 

Sehingga, perlu kita sebagai user dari teknologi abad 21 tidak lagi memandang teknologi pada sisi instrumental belaka. Fungsi teknologi memang banyak memberikan manfaat. Baik itu kalkulator, sensor panas dan gerak, wireless broadband, bahkan sampai artificial intelligence memiliki sisi kritikal dan sosial yang wajib kita fahami. 

Terutama sosmed yang menjadi sebuah kebutuhan interaksi sosial abad 21 seperti sekarang. Bijak memahami konten, kevalidan, dan kredibilitas berita dan penyebar berita menjadi penting. Karena ada ranah kultur, kekuasaan dan populer yang juga terlibat.

Tulisan saya menyoal literasi digital:

  1. Memosisikan Literasi Digital dalam Isu Ahok 
  2. Literasi DIgital yang Sebaiknya Kita Pahami

Salam,


Wollongong, 13 November 2016


10:05 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun