Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebencian yang Bertiwikrama di 4 November

31 Oktober 2016   14:34 Diperbarui: 31 Oktober 2016   14:40 2418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prolog

Prabu Kresna datang jauh-jauh dari Dwarawati bersama pasukannya menuju Hastinapura untuk meminta satu hal. Ia meminta Duryudana menyerahkan hak Pandawa atas sebagian tanah Hastinapura. Hukuman diasingkan pun sudah dijalankan para Pandawa. Resi Bisma pun meminta sang raja Duryudana untuk menyerahkan hak Pandawa. Namun keculasan Duryudana untuk menguasai Hastinapura tidak surut. Para tetua yang hadir bersama Durjudana pun terdiam dibawah keangkuhan Durjudana. Prabu Kresna kecewa mendapati hal ini. Ditambah, pasukan Dwarawati malah tiba-tiba sudah dikepung pasukan Kurawa. 

Prabu Kresna dengan amarah yang semakin memuncak menuju ke halaman istana Hastinapura. Disanalah ia bertiwikrama menjadi raksasa Brahala Sewu. Raksasa yang bisa menggetarkan Jongring Saloka. Ia pun bisa menelan gunung. Para Kurawa dibuat ketakutan setengah mati dengan tiwikrama Kresna. Sebian Hastinapura luluh lantak diamuk Brahala Sewu. Sehingga para dewa turun dari kahyangan guna membujuk Kresna untuk menghentikan aksinya. Mereka meminta Kresna membiarkan Pandawa menyelesaikan masalahnya sendiri dengan Kurawa.

Tanda-Petanda yang Bermain

Gaung aksi 4 November nanti pun sudah menggetarkan panglima TNI. Mereka sudah siap menantang bagi siapapun yang mencoba memecah belah NKRI. Walau tersirat, namun pidato Panglima TNI menyiratkan dengan halus maksudnya. 

Setali tiga uang, demo 4 November nanti pun secara makna 'surface' meminta cagub petahana diadili. Namun tujuan 'deep meaning' atau yang terlipat dalam tiap hati penggerak. penyantun dan penggagas demo bisa dicercap dengan akal sehat. Selain menggagalkan petahana untuk bisa melanjutkan kampanyenya, karena terseret kasus hukum. Ada pula aroma dendam berurat menjatuhkan pemerintahan yang sah. 

Baik, mari kita tidak banyak bahas unsur politis dan kepentingan yang ada. Silahkan cari sendiri referensi yang membahas dalam kanal yang ada di Kompasiana. Saya hanya ingin membaca tanda-petanda yang hadir di demo besar 4 November nanti. Sebuah fenomena yang apik. Tragedi yang akan coba saya kaitkan dengan lakon wayang Kresna Tiwikrama.

Seperti dalam prolog diatas, prabu Kresna berubah menjadi raksasa menakutkan. Sebabnya karena ia merasa dihianati dan dibohongi oleh Duryudana. Belum lagi atas serangan mendadak pada pasukannya yang diluar dugaan. Kebencian prabu Kresna begitu memuncak, sampai ia berubah menjadi raksasa Brahala Sewu. 

Apa tanda-petanda yang bisa kita analogikan ke demo 4 November nanti. Mari kita elaborasi satu persatu. Analogi yang coba saya jabarkan bisa bersifat tentatif. 

Kebencian Kresna = Kebencian beberapa golongan umat

Saya tidak bisa mengeneralisir kebencian beberapa golongan umat dengan demo 4 November nanti. Karena toh ada golongan yang masih mau berdiskusi. Kebencian ini dipicu ucapan cagub petahana yang dipelintir. Menurut golongan yang benci ini, ia telah menghina bukan saja kitab suci, tapi agama dan umatnya. Maka ia perlu diperangi. Demo yang sudah lalu mampu menggetarkan karena ribuan orang datang. Dan 4 November nanti menjadi demo pamungkas. Tidak hanya di Jakarta, namun di beberapa daerah. Tiwikrama kebencian bisa terlihat disini.

Kebencian yang sebenarnya telah lama dan mengendap. Semakin subur dan besar saat tahu aksi pongah cagub petahana. Tambah menjadi jika masih ada cocokologi dengan capaian Presiden yang dinilai negatif setiap waktu. Tiwikrama kebencian yang dibungkus rekat pas dengan momentum yang ada. Namun apakah tiwikrama kebencian ini 'benar' jika merujuk analogi cerita Prabu Kresna diatas.

Nah, kebenaran pun akan tetap ada jika ada kacamata yang dipakai memandangnya. Dan inilah kebenaran umat yang membenci dengan 'kacamatanya'. Dan yakinlah, kebenaran ini pun tidak valid, karena hanya sebagian yang membenarkannya. Saat prabu Kresna berdiri pada kebenaran yang valid dan utuh. Kebencian yang bertiwikrama 4 November nanti tidak begitu. Kebencian yang sarat dengan muatan arti, kepentingan, dan latensi. 

Raksasa Brahala Sewu = Ayat yang dipolemikkan

Kembali, kebencian yang nanti bertiwikrama pun bukan sarat kebenaran yang utuh. Namun kebencian yang jumud dengan petanda. Saat ribuan atau bahkan jutaan pendemo memenuhi jalan/lapangan/tempat umum, besarnya nyata. Namun dalam ukurannya yang besar, 'kepadatan'  maknanya begitu rapuh. Hal ini terkait analogi diatas. Mungkin saja para pendemo datang bukan karena benci. 

Ada yang datang karena mungkin dibayar, diajak teman, karena memang benci. Karena apapun yang dipandang dengan kebencian akan tetap salah. Apalagi hati yang benci ini berfrekuensi serupa dalam satu massa yang besar. Klop untuk bertiwikrama menjadi raksasa. Namun esensi kebencian 'yang tulus' karena dasar pemahaman mendalam atas ayat yang dipolemikkan begitu inklandestin. Sulit terlihat karena terhalang entitas yang berbaur kepentingan golongan dan kelompok.

Penenang Prabu Kresna = Internalisasi NKRI

Saat prabu Kresna mengamuk dan memporak-porandakan sebagian Hastinapura, para dewa menenangkan hati prabu Kresna. Analogi yang muncul dengan konteks demo 4 November nanti pun klik dengan internalisasi kata NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat ranah agama serasa diobrak-abrik orang lain, ada baiknya banyak menengok ke domain internal dahulu. Baca tulisan saya Ahok dan Redundancy Reduction.

Kebencian itu akan mereda saat tahu betapa majemuk dan supoertifnya negara Indonesia. Para forefathers tidak pula memaksakan agama, keyakinan, atau dogmanya dalam membangun negri ini. Semua bertumpu pada ke-Bhinekaan. Pasang surut ke-Bhinekaan selam 70 tahun Indonesia merdeka, namun masih tertanam dalam tiap hati kita. Inilah yang seharusnya menjadi penghapus kebencian. 

Saat permintaan maaf sudah dihaturkan. Saat jalur hukum sudah coba dijalankan. Kenapa harus pula bertiwikrama dalam kebencian. Tiwikrama kebencian yang begitu dubius atau samar-samar. Jikalau kebencian yang mengemuka atas dasar kebenaran yang perspektifnya valid dari tiap kacamata kita, silahkan bertiwikrama.

Tak perlulah merusak kesatuan dalam keragaman dengan memaksakan bertiwikrama dengan beragam kepentingan yang begitu lamat-lamat. 

Salam,

Wollongong, 31 Oktober 2016

06:34 pm  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun