Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebencian yang Bertiwikrama di 4 November

31 Oktober 2016   14:34 Diperbarui: 31 Oktober 2016   14:40 2418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hatred - Gon vs Nepurepto: YouTube.com

Kebencian yang sebenarnya telah lama dan mengendap. Semakin subur dan besar saat tahu aksi pongah cagub petahana. Tambah menjadi jika masih ada cocokologi dengan capaian Presiden yang dinilai negatif setiap waktu. Tiwikrama kebencian yang dibungkus rekat pas dengan momentum yang ada. Namun apakah tiwikrama kebencian ini 'benar' jika merujuk analogi cerita Prabu Kresna diatas.

Nah, kebenaran pun akan tetap ada jika ada kacamata yang dipakai memandangnya. Dan inilah kebenaran umat yang membenci dengan 'kacamatanya'. Dan yakinlah, kebenaran ini pun tidak valid, karena hanya sebagian yang membenarkannya. Saat prabu Kresna berdiri pada kebenaran yang valid dan utuh. Kebencian yang bertiwikrama 4 November nanti tidak begitu. Kebencian yang sarat dengan muatan arti, kepentingan, dan latensi. 

Raksasa Brahala Sewu = Ayat yang dipolemikkan

Kembali, kebencian yang nanti bertiwikrama pun bukan sarat kebenaran yang utuh. Namun kebencian yang jumud dengan petanda. Saat ribuan atau bahkan jutaan pendemo memenuhi jalan/lapangan/tempat umum, besarnya nyata. Namun dalam ukurannya yang besar, 'kepadatan'  maknanya begitu rapuh. Hal ini terkait analogi diatas. Mungkin saja para pendemo datang bukan karena benci. 

Ada yang datang karena mungkin dibayar, diajak teman, karena memang benci. Karena apapun yang dipandang dengan kebencian akan tetap salah. Apalagi hati yang benci ini berfrekuensi serupa dalam satu massa yang besar. Klop untuk bertiwikrama menjadi raksasa. Namun esensi kebencian 'yang tulus' karena dasar pemahaman mendalam atas ayat yang dipolemikkan begitu inklandestin. Sulit terlihat karena terhalang entitas yang berbaur kepentingan golongan dan kelompok.

Penenang Prabu Kresna = Internalisasi NKRI

Saat prabu Kresna mengamuk dan memporak-porandakan sebagian Hastinapura, para dewa menenangkan hati prabu Kresna. Analogi yang muncul dengan konteks demo 4 November nanti pun klik dengan internalisasi kata NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat ranah agama serasa diobrak-abrik orang lain, ada baiknya banyak menengok ke domain internal dahulu. Baca tulisan saya Ahok dan Redundancy Reduction.

Kebencian itu akan mereda saat tahu betapa majemuk dan supoertifnya negara Indonesia. Para forefathers tidak pula memaksakan agama, keyakinan, atau dogmanya dalam membangun negri ini. Semua bertumpu pada ke-Bhinekaan. Pasang surut ke-Bhinekaan selam 70 tahun Indonesia merdeka, namun masih tertanam dalam tiap hati kita. Inilah yang seharusnya menjadi penghapus kebencian. 

Saat permintaan maaf sudah dihaturkan. Saat jalur hukum sudah coba dijalankan. Kenapa harus pula bertiwikrama dalam kebencian. Tiwikrama kebencian yang begitu dubius atau samar-samar. Jikalau kebencian yang mengemuka atas dasar kebenaran yang perspektifnya valid dari tiap kacamata kita, silahkan bertiwikrama.

Tak perlulah merusak kesatuan dalam keragaman dengan memaksakan bertiwikrama dengan beragam kepentingan yang begitu lamat-lamat. 

Salam,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun