Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Ingat, Beasiswa Bukanlah Hadiah

6 Oktober 2016   08:43 Diperbarui: 4 Maret 2022   06:19 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Beasiswa bukan hadiah.'

Sebuah frasa yang sejak saya menjadi awardee dari institusi pemerintah selalu saya camkan di dalam hati. Bukan coba membebani diri, namun memberi sedikit pengingat seiring saya menempuh studi di negara orang saat ini. 

Mungkin saja saya khilaf jika menganggap beasiswa adalah hadiah. Beasiswa adalah 'hak saya' karena saya pintar. Menjadi 'jatah' saya karena saya berprestasi. Atau merupakan 'hibah' buat saya yang mengabdi pada satu bidang setelah bertahun-tahun. Semoga saya dijauhkan dari berpikiran demikian.

Coba saya analogikan dengan orang-orang yang sekolah di luar negri dengan biaya sendiri. Biaya sendiri baik dari pribadi karena bekerja atau dana berasal dari orangtua. Sifat sentripetal dihasilkan dari sekolah biaya sendiri. 

Maksudnya, tanggung jawab yang ada terfokus pada diri sendiri dan orangtua yang membiayai. Orangtua harus wajib tahu hasil tiap semester misalnya. Atau ada motivasi intrinsik untuk mendapat nilai diatas 80 demi mengejar karier di masa depan. 

Berbeda dengan sifat beasiswa yang sentrifugal. Beasiswa seperti ini saya pikir akan melibatkan dan mempengaruhi banyak orang. Beberapa pihak tersebut seperti:

  1. Pemerintah/institusi; Saya harus mempertanggungjawabkan hasil pra, whilst, dan paska studi kepada pemerintah/institusi. Sebelum mendapat beasiswa ada seleksi ketat. Donor beasiswa tentu tidak akan memberi kepada sembarang awardee. Integritas menjadi salah satu poin penting yang diukur. Tentunya saat studi, hal akademis dan non-akademis menjadi tolok ukur integritas yang sudah diukur sebelumnya. Akhirnya, saat studi selesai impact apa yang awardee tersebut bisa dikontribusikan ke negara, institusi tempat bekerja, dan masyarakat secara luas.

  2. Sekolah/institusi tempat belajar; Sekolah/institusi ini bisa di dalam dan luar negri. Sudah bisa pasti sekolah/institusi memiliki ekspektasi tinggi saat menerima awardee beasiswa. Mereka tahu awardee sudah diseleksi ketat oleh pemerintah/institusi donor beasiswa. Tentu 'standar' atau benchmark awardee juga. Intinya, awardee adalah orang-orang pintar dan berprestasi. Impact untuk sekolah/institusi yang menerima awardee seperti ini adalah prestasi riset/akademis/non-akademis juga tinggi. Bagi sekolah di luar negri bisa memberi mereka data/cultural awareness dari negara awardee. Dan secara ekonomis tentunya revenue. Soal data/riset soal negara awardee, pemegang beasiswa harus menjamin sensitifitas data/riset dijamin oleh pihak kampus.

  3. Tempat bekerja/institusi profesi. Tentunya tidak semua awardee adalah fresh graduate. Pada program Ph.D, banyak awardee sudah berprofesi di PTN/PTS/BUMN/Swasta asing. Tentunya menerima beasiswa berdampak pula pada tempat mereka dan saya bekerja. Institusi ini berharap kita mendapat banyak hal yang bisa di-share dan diadaptasi di negara atau institusi sendiri. Tentunya hal yang positif dan membangun. Walau impact yang timbul tidak diharapkan spontan, namun indikasi kemajuan sejak awardee kembali bekerja tentu diharapkan. Percuma jika sesuai awardee kembali bekerja di institusinya kemudian membaur dan masuk ke dalam sistem yang lama. Tanpa ada kemajuan berarti dan nyata. Menurut saya pribadi, percuma saja studi jauh-jauh namun tidak ada impact atau sekadar indikasi kemajuan yang terjadi.

  4. Orangtua/keluarga awardee. Orangtua mana yang tidak bangga anaknya mendapat beasiswa? Dan serupa biaya dari orangtua, awardee wajib bertanggung jawab kepada orangtua atau keluarga. Mungkin tidak secara formal memberi laporan tiap semester, namun endurance/daya tahan dan kelulusan menjadi bukti. Saya sendiri harus bisa dan wajib menyesuaikan gaya belajar di tempat studi saya. Gaya belajar autonomous dan critical thinking dominan di negara Barat. Hal yang saya kira tidak semua PT di Indonesia yang menerapkan. Teacher-centered dan spoiled (manja) saya kira masih banyak terjadi, bahkan sampai tingkat perguruan tinggi. Dan lulus juga menjadi bukti kita berhasil. Karena banyak teman dan rekan bercerita kalau studi mereka tidak selesai. Dan banyak hambatan baik internal dan eksternal yang terjadi. Sangat disayangkan memang.

  5. Masyarakat pada umumnya. Baik orang yang saya kenal atau tidak. Jika mereka tahu saya penerima beasiswa mungkin ada pertanyaan terbersit dalam hati mereka. Apa yang sudah kamu berikan untuk negara/masyarakat? Kamu kan dibiayai negara kuliahnya? Ingin dan harapan saya hanya, sebelum mereka bertanya demikian sudah ada hal yang mungkin kecil bisa dirasakan orang banyak. Tidak perlu muluk-muluk riset untuk mengkoloni planet Mars misalnya. Namun bersumbangsih opini dan aspirasi di ranah profesinya sendiri mungkin menjadi indikasi awal kontribusi. Tentunya dalam diri setiap awardee, ada keinginan mereka untuk bermanfaat bagi nusa dan bangsa. Sebuah klise yang orangtua kita ucap dulu saat ditanya cita-cita sejak SD. Yang saya kira menjadi doa terwujud saat ini dan nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun