Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karya Karma Bagian 7

1 Oktober 2016   20:11 Diperbarui: 5 Oktober 2016   18:26 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disclaimer:

Gore-horror theme. Karya fiksi ini berisi kekerasan, darah, dan kata-kata kasar. Bagi yang tidak berkenan, cukup membaca sampai disini. Salam :-)

Baiklah kita selidiki dugaan saya ini nanti. Terima kasih W."

Tanpa diminta W. segera beranjak pergi. 

'Sial! Aku terpancing! ' Dengan sungut emosi W. bergumam dalam hati.

'Abah... Abah semoga kau baik-baik saja!' W. segera mempercepat langkahnya. (Bagian 6)

* * *

'Ya Tuhan, kecil sekali nyali pak Hendra. Sepertinya kamu pengecut sejati!' batin Mariam bingung sekaligus heran dengan keputusan Hendra mengakhir hidup dengan menembakkan pistol ini.

Lalat-lalat masih berdengung di kamar gelap ini. Makin ribut mereka dengan aroma darah segar yang membuncah dari kepala Hendra. Lamat-lamat terdengar suara darah yang mengucur keluar dari pelipis Hendra. Tidak seperti keran air yang bocor menetes. Lebih seperti halus suara susu kental yang keluar ketika dituang. Bergeleguk, namun begitu halus. Mungkin darah di kepala Hendra begitu kental berbaur dengan serabut pecahan otak kepalanya.

Lama Mariam terdiam meratapi dan merasakan sakitnya. Bau anyir berbaur bangkai dan apak ruang Kesempurnaan ini benar-benar  sempurna membuat nelangsa. Tiada lagi yang bisa diharapkan dari tempat gelap pekat dan terkunci seperti ini. Seolah derita kamar ini membujuknya mencabut nyawanya sendiri denan pistol yang ada. Perlahan tapi pasti membuat Mariam membayangkan rasanya peluru itu menembus otaknya.

'Sakitkah? Panaskah peluru panas itu menembus terjang isi kepalanya? Apa lebih sakit dari deritanya saat ini? Apakah sakitnya hanya sementara daripada sakit ini? Lalu apa rasanya setelah kepalaku tertembus peluru? Apa yang akan terjadi? Ya tuhan!' batin Mariam berkecamuk serupa badai.

Mariam menyeret tubuhnya mendekati jasad Hendra. Mengambil pistol yang berada di lantai dekat darah yang menggenang. Basah darah Hendra melumuri licn gagang pistol FN yang diberikan Abah. Perlahan Mariam meraba dan mencoba melihat dalam gelap pistol yang digenggamnya.

'Akhir hidupku berada dimuntahan ujung pistol ini? Dicabut oleh peluru tumpul yang melesak masuk ke dalam kepalaku? Menghentikan semua! Hidupku! Harapanku! Sakit! Deritaku! Mungkin tuhan memerintah malaikat pencabut nyawa menjadi pistol ini? Bukan karena tua dan sakit ku mati. Bukan karena celaka di jalan dan dibunuh orang ku mati. Tapi tanganku dengan pistol pencabut nyawa. Sial!!'

Dengungan ribuan lalat seperti berteriak mendukungnya menarik pelatuk mengarah ke kepala Mariam. Mereka akan mendapat darah yang segar. Mendapat inang untung anak mereka, para belatung. Mendapati akhir hidup mereka berbakti untuk larva lalat tertanam di tubuh Mariam. Lalu larva kecil itu akan menggeliat menjijikkan di tubuh Mariam yang membusuk membiru. Keluar dari lubang mata Mariam yang membusuk. Keluar dari perut Mariam yang semakin kempis termakan larva lalat. Tubuh belatung nanti adalah tubuh Mariam. Mariam menjadi belatung yang begitu geli dan menjijikkan.

'Busuk benar perbuatanku yang tuhan? Sampai ku matipun membusuk di ruang terkutuk ini. Tiada yang mengasihani. Tiada yang bahkan mau memberiku kubur yang layak. Inikah karmaku selama ini? Dibiarkan mati membusuk. Mati mengerikan dengan kepala meluruhkan darah dan isi kepala. Tiada yang menangisi bahkan mendoakan.' perlahan Mariam menaikkan pistol ke kepalanya sendiri.

* * *

Dua mobil terus menguntit mobil W. di jalan tol ini. W. tahu dua mobil ini terus membuntutinya dari keluar markas polisi tadi. W. belum pernah melihat mobil anggota mana. Namun ia sadar ia telah diikuti. Bahkan saat ia coba mengecoh dengan belok mendadak selepas kota, mobil ini masih di belakang mobilnya.

'Sial! Siapa mereka...?' W. mengumpat dalam hati.

Salah satu mobil segera melaju mendahului mobil W. Kini sebuah sedan hitam menghalanginya melaju di depan. Sedang satu mobil lain segera mendekati tepat di belakang mobil W. Jaraknya mungkin hanya beberapa senti saja. Jika W. berhenti ia tahu ia akan ditabrak dari belakang. Laju mobilnya pun tertahan mobil sedan hitam di depannya.

"Siiittt..!!" suara mobil sedan hitam di depan mengerem. W. pun spontan menginjak rem mobilnnya. Membuatny kepala terbentur setir.

"Bedebah!!" W. mengumpat. Kepalanya terasa pening sekali. Matanya sedikti berkunang-kunang. Tapi ia masih bisa sadar.

Tiga orang segera keluar dari mobil sedan hitam di depan mobil W. Ketiganya berbadan tegap. Mereka segera mendekati mobil W. dan mencoba membuka pintunya. W. berusaha menahan dengan segera menguncinya. Tapi salah satu orang dengan segera menodongkan pistolnya. W. tahu sekali ia dalam bahay.

W. mengambil pistolnya di kantong blazernya. Namun sorang yang menodong pistol segera memcahkan jendela dengan gagang pistolnya. Beberapa kali tidak pecah. Pada kali keempat kaca jendela mobil W. baru peceh berhamburan.

"Dorr!!" W. segera menembakkan pistol ke arah orang yang memecahkan jendela mobilnya. Tapi orang tadi sudah segera menunduk. Sedang ke dua orang lagi sudah segera menunduk di depan mobilya.

W. segera menunduk dan mencoba berpindah ke kursi belakang. Satu orang di depan mobil W. segera menembak kaca depan mobil W. Namun W. sudah berada di jok belakang. Ia coba melarikan diri dari pintu belakang. Di amatinya mobil yang tadi menguntitnya. Sial. Disana dua orang sudah siap mengacungkan senjata di balik kedua pintu depan mobil mereka.

"Bedebah! Siapa merka? Mau apa mereka??!!" W. memutar otak agar bisa keluar dari situasi ini. W. tahu ia bisa saja kembali ke belakang kemudi dan mencoba melaju. Tapi jika ia pindah ke kursi depan, badannya terbuka untuk ditembak.

"Dorr!!" sebuah peluru menghancurkan kaca belakang mobil W. Ia tidak mungkin membalas tembakan. Karena satu orang lagi bisa saja langsung menembaknya. Atau dua orang di depan mobil W. yang entah kini mereka ada dimana, bsai saja menembaknya.

"Sial!!" W. mengumpat sendiri kebingungan. Satu-satunya jalan adalah nekat membalas tembakan ke dua orang di belakang mobilnya. Tapi ia juga harus waspada jika orang di depan berdiri dan mengarahkan pistol ke arahnya.

W. segera mendudukkan tubuhnya dan mengarahkan pistolnya ke arah belakang.

* * *

"Wardah kemari nak.." si bapak melambaikan tangannya ke arah Wardah yang sedang membeli gulali arum manis di luar pagar rumah.

"Ada apa Abah?" Wardah segera meninggalkan tukang gulali yang masih sibuk memintal gula yang menjadi kapas.

"Nanti belikan kakakmu gulali jarum manis juga ya? Beli dua jadinya."

"Kok dua belinya Abah? Kakak? Wardah tidak punya kakak...?" Wardah yang baru satu minggu tinggal di rumah si bapak bingung dibuatnya.

"Kamu punya kakak nak. Ia sudah tidak ada di rumah ini. Tapi kamu harus yakin kakakmu bersama kamu." si bapak menjelaskan.

"Memang pergi kemana kakakku itu Abah? Wardah tidak pernah tahu? Wardah juga tidak pernah lihat?"

"Perginya tidak jauh. Dekat sekali. Kakakmu sering lihat kamu kok. Wardah saja tidak tahu. Jadi, biar kakakmu senang belikan gulali arum manisnya dua ya?" pinta si bapak sambil menyerahkan uang 5 ribu.

"Mmm... baiklah kalau begitu. Nanti Abah ceritakan ya kemana kakak pergi?" Wardah menurut dan sigap berlari kembali ke tukang gulali arum manis diluar.

"Baiklah nak."

'Anakku yang satu ini memang cerdas. Kamulah kakakmu. Kamulah Wardah anakku. Kelak ia akan memberi karma atas apa yang orang-orang picik lakukan kepada ibumu. Kakakmu akan selalu berada dekatmu. Ia melindungimu. Ibumu pun juga begitu. Percayalah nak.' si bapak yang kini minta dipanggil Abah itu bergumam dalam hati. Memandangi penuh takjub Wardah anaknya.

* * *

Bersambung

Wollongong, 01 Oktober 2016

11:11 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun