Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Horor dan Misteri] Karya Karma Bagian 4

28 September 2016   20:52 Diperbarui: 28 September 2016   20:55 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disclaimer:

Gore-horror theme. Karya fiksi ini berisi kekerasan, darah, dan kata-kata kasar. Bagi yang tidak berkenan, cukup membaca sampai disini. Salam :-)

"Diam disana Johan. Si bajingan itu memang mempermainkan kita." Mariam kembali memperingatkan.

"Kita harus bagaimana bu Mariam? Kita harus bagaimana??" panik dalam tanya menyekap fikir Johan.

"Entah... entahlah Johan..." Mariam putus asa menjawab dengan kekuyuan. 

Kesenyapan lalu membekap keputusasaan dua orang ini. Putus asa antara hidup dan mati. (Bagian 3)

* * *

"Wardah... ya namamu sekarang Wardah ya?" sambil mengusap kepala gadis kecil 6 tahun itu.

"Saya sudah punya nama Indah Suryani pak. Kata ibu saya yang ada di kampung?"

"Baiklah, Wardah Indah Suryani. Bagaimana nama itu nak? Bagus bukan?"

"Terus nanti saya dipanggil Indah atau Wardah? Biar saya tidak bingung?" celetuk si gadis kecil terus menyambung pertanyaan.

"Ya Wardah dong. Biar kamu terasa punya hidup baru. Daripada kamu hidup di panti ini lagi? Semoga namamu bisa memberi sesuatu yang baru. Bukan begitu?

"Iya benar sih. Saya juga bosan hidup di panti ini. Apalagi dulu hidup di jalan saya dipanggil Idah. Jelek banget deh. Wardah nama yang bagus kok." si gadis kecil tersenyum. Di genggamlah tangan bapaknya yang baru. Panti sosial dan jalanan sudah Wardah tinggalkan.

Sejak kaki Wardah keluar dari panti itulah, ia dididik menjadi gadis yang cerdas dan pandai. Dibesarkan oleh seorang bapak yang cerdas pula, Wardah terus berada di atas rata-rata anak seumurnya. Tahap demi tahap jenjang sekolah ia lalui dengan prestasi gemilang. 

Pilihan karirnya membawa Wardah memilih jalur kepolisian negara. Dan jalan karinya tidak salah, Wardah meroket bersama kecerdasan dan kemampuan fisik yang juga baik. Bapaknya begitu bangga. Bapak yang telah membesarkannya sepenuh kasih anak kandung tidak tersia.

Mungkin Wardah-lah penjelmaan anak si bapak yang dulu meninggal bersama sang istri. Meninggal bersama padamnya listrik dulu, belasan tahun lalu. Kesedihan yang membekas tiada hilang. Andai sepelenya listrik padam dulu tiadk membuat istri dan anaknya mati, mungkin ia tidak pernah bertemu dengan Wardah. 

"Kalau kamu fikir karma itu tidak ada? Kamu salah adanya nak. Masih jelas terbayang ketakutan saat ibu tirimu dulu meninggal bersama calon kakakmu. dulu. Bayangkan mereka direnggut nyawany hanya karena listrik padam. Belakanya luar biasa. Rumah sakit kota macam apa yang alat-alatnya begitu kuno. Betpa kuno pula negri ini sering padam lampu. Kamu tahu setelah ibu dan kakakmu direnggut nyawanya, ada kasus korupsi di rumah sakit yang sama? Banyak penyimpangan yang terjadi. Listrik padam sebenarnya bukan masalah bagi generator listrik di rumah sakit. Tapi koruptor busuk ini mengambil banyak sekali dari sekadar generator. Hanya kroco-kroco yang ditangkap. Tapi dalangnya berleha-leha sekarang. Sistem negara ini sudah begitu korup. Para pencoleng ini picik sekali! Karma itu pasti ada. Dan saatnya kamu membawa mereka ke sini nak."

"Baik. Saya tahu benar para penjahat busuk ini punya banyak orang-orang besar dibelakang mereka. Dengan orang besar, sulit memberi karma. Hal yang sudah saya tahu dan faham benar bertahun-tahun. Kesedihan yang saya rasa menjadi bagian dari saya. Saya benar-benar muak memang melihat sepak terjang mereka ini. Saya sudah faham benar semua tentang mereka. Karya karama akan kita ciptakan bersama. Abah tidak usah khawatir..."

* * * 

"Johan, rekan Mariam juga menghilang dua hari lalu W. Kira-kira kamu tahu kemana dia?" tanya Inspektur Jenar sembari menyerah file kasus Mariam.

"Bisa saja Johan lari keluar kota pak. Ketakutan terus ditanyai dan dibuntuti polisi. Saya tahu benar ada yang ia sembunyikan. " W. menjawab sambil terus menatap layar monitor komputernya.

"Kamu bisa buktikan omonganmu? Kalau Johan menyembunyikan sesuatu?"

W. segera membuka file-file rekam rekening Mariam dan perusahaannya. Ia teliti satu persatu sampai ia mencapai satu poin disitu. 

"Ini pak, coba bapak lihat. Ada transaksi puluhan miliar untuk C.V Antar Nusa Indah Harmoni. Setelah saya cek apa dan dimana C.V itu, tidak ada kejelasan sama sekali pak. Hanya C.V fiktif akal-akalan perusahaan Mariam. Untuk menutupi fiktifnya, ada banyak oknum terlibat disana. Bapak masih ingat pejabat yang bernama Fahri? Namanya tercantum dalam akta C.V ini pak. Dan entah mengapa bisa BPK atau PPATK kebobolan dari proyek ini. Oya pak, proyeknya terkait rumah sakit pemerintah di kota ini. Sepertinya pengadaan alat-alat penyokong operasional rumah sakit. Dan ini sudah berlangsung tahunan pak." W. menjelaskan sambil menunjuk nilai uang yang digelontorkan dari pemerintah untuk proyek ini.

"Sebentar W. ini bukan tugasmu . Selidik soal uang dan korupsi sudah ada lembaganya. Kamu cukup laporkan saja kira-kira dugaanmu ini. Kita fokus cari pelaku penculik Mariam dan Johan, atau mungkin Fahri. Saya akan koordinasi dengan petinggi lembaga yang kamu sebut tadi." Inspektur Jenar segera meninggalkan W. sendiri di mejanya.

Kecewa pasti yang akan ia terima. W. tahu benar itu. Sistem ini begitu korup. Sampai rekan kerjanya saja dijejali mulutnya uang karya busuk para pencoleng ini.

"Halo? Nik, kamu bisa jemput pak H nanti malam jam 11. Saya pantau dari jauh." W. segera menelepon selepas Inspektur Jenar pergi.

"Baik, 86.." suara diujung telepon menjawab.

* * *

Bau anyir darah sudah tidak tercium di ruang Kesempurnaan. Mariam kini berhasil duduk. Walau perih dan sakit menyelimuti perutnya, namun ia bertahan. Luka amputasi tangannya sudah mengering. Namun ia bisa rasakan koreng. Dan tonjolan lembut kutil nanah muncul disekitaran koreng. Andai ia bisa melihat seberapa parah korengnya, mungkin akan sangat mengerikan. Perutnya pun juga begitu. Entah apa yang dilakuakan orang yang sering datang itu, perutnya sudah kebas. Kini panas tinggi Mariam rasakan. Keringat dingin membasahi pakaiannya yang sudah berbau aneh. Pandangannya berkunang-kunang. Kepalanya serasa mau pecah.

Johan lebih banyak menggeram menahan sakit. Kadang ia teriak-teriak sendiri sambil mengumpat. RIntihan diiringi tangisnya begitu menyanyat bagi orang biasa yang mendengarnya. Beberapa bagian tubuh Johan juga telah sempal dagingnya. Luka yang besar kini dilmuri licinnya darah putih menutup luka. Darah pun sudah mengering. Namun ngilu dan sakitnya mata kail yang disangkutkan di bagian tubuh lain tiada terperi. Beberapa mata pancing pun sudah berkarat.

"Sraak.." tiba-tiba pintu terbuka. Cahay terang masuk namun Abah bediri menentangnya.

"Selamat siang Nona Mariam dan Tuan Johan. Sudah dua hari saya tinggalkan. Apa kalian rindu saya?" Abah berucap sambil berdiri di depan pintu. Membawa box besar.

"Kemari kau keparat!! Aahhgg..!!" Johan hendak berdiri namun kail yang tersangkut di tubuhnya memendarkan sakit yang sangat. Tubuhnya pun sudah lemah tiada tenaga. Johan hanya terduku menahan sakit.

"Mau apa kau bajingan?? Sudahi saja nyawa kami." Mariam menjawab lemah.

"Ah, tenang Tuan dan Nona. Saya hanya mau meninggalkan box besar ini. Ini bagian dari diri Anda Nona Mariam. Masih ingat?"

"Jangan bilang itu tangan kananku?? Mau kau apakan hah??!" Mariam tersulut emosinya.

"Tuan dan Nona belum pernah merasakan rasanya menjadi bangkai? Di kerubungi ratusan bahkan ribuan lalat? Lalu lalat ini membenamkan larvanya menjadi belatung? Nah, saya bawakan lalat itu di box ini. Nona Mariam, ternyata tangan kanan Anda cepat membusuk juga ya? Sebusuk perbuatanmu. Ya sebusuk perbuatanmu." Usai berkata demikian, Abah membuka box.

Bau bangkai segera menyerang hidung. Ribuan bahkan jutaan lalat segera berhambur keluar. Lalat ini memenuhi ruang yang juga sudah penuh bau memuakkan dan apak. Di dalam box, ribuan lalat masih mengerubungi tangan kanan Mariam yang mulai membiru dan menjijik. Persis seperti tikus mati yang bangkainya membusuk diujung selokan.

"Sial kau keparat!!" Johan mengumpat.

"Lalat-lalat ini semoga bisa menemani Nona dan Tuan di ruang Kesempurnaan ini. Karena jijiknya belatung di tubuh kalian tidak sebusuk apa yan gtelah kalian lakukan. Selamat siang Nona Mariam dan Tuan Johan." Abah segera menutup pintu ruang Kesempurnaan.

Ribuan lalat segera menghinggap dan menyeka luka bau anyir Mariam dan Johan. Johan berteriak-teriak bak orang kesurupan. Mariam terdiam menahan badannya yang tiada lagi sanggup hidup. 

'Setidaknya lalat ini tahu kalau badan ini sudah mati.....' fikir Mariam.

* * *

Bersambung

banner-fiksi-horor-57ebca24577b614c11b62e38.jpg
banner-fiksi-horor-57ebca24577b614c11b62e38.jpg
Wollongong, 28 September

11:50 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun