Disclaimer:
Gore-horror theme. Karya fiksi ini berisi kekerasan, darah, dan kata-kata kasar. Bagi yang tidak berkenan, cukup membaca sampai disini. Salam :-)
"Oya sebelum pergi, saya perlu sampaikan satu hal Nona Mariam. Sebentar lagi Johan rekan Nona akan 'mampir' mengunjungi Nona. Putri saya akan mengantarnya ke sini." Segera Abah menutup pintu ruangan Kesmpurnaan. Gelap kembali membekap Mariam.Â
Dalam tidur biusnya, Mariam merasakan sakitnya. Ia rasa semua sakit. Namun ia mati dalam bius. Dalam kesenyapan sakit yang begitu riuh.
'Perutku...perutnku. Sakit sekali. Kenapa? Kenapa??!' Mariam berteriak dalam kesakitan yang sangat di gelap alam yang terbius. (Bagian 2)
* * *
"Pak Johan, bisa saya bicara sebentar?" tanya W. begitu Johan masuk ke area parkir.Â
"Hah... iya bu. Kenapa..?" Johan tergagap kaget karena W. tiba-tiba muncul di tempat parkir. W. pun segera menyela kegagapan Johan.
"Pak Johan kenal pak Wira?"
"Wira siapa ya? Maaf saya baru dengar. Dan maaf, saya harus segera pulang. Sudah malam bu?" Johan tergesa menjawab. Segera ia berjalan ke mobilnya meninggalkan W. tanpa kejelasan.
"Saya tahu pak Johan kenal pak Wira... " W. hanya bisa tersenyum sinis menyaksikan Johan pergi.
"Brughhh..." tiba tiba Johan terjatuh ditabrak dan dibekap mulut dan hidungnya. Lunglai lemas tubuh Johan dengan segera dibopong si pembekap.
"Terima kasih W.." ucap si pembekap.
"Ketakutan membuat orang bodoh seperti Johan mudah dilumpuhkan. Dasar busuk!" W. segera berpaling dan pergi.
* * *
"Istri bapak segera melahirkan. Kontraksinya sudah semakin sering. Air ketubannya juga sudah pecah. Bapak tunggu saja diluar." ucap si suster.
"Baik. Kira-kira berapa lama nanti lahirnya anak saya suster?"
 "Belum tahu pak. Karena dibawa kesini sudah pembukaan, mungkin tidak lama lagi pak. Bapak banyak berdoa saja ya." si suster mencoba menenangkan.
"Baiklah. Semoga lancar kelahiran putri saya."
"Aamiin."
Lampu seisi rumah sakit tiba-tiba padam. Suara riuh pasien dan penjenguk terdengar. Ada tangis bocah yang pecah. Staff rumah sakit mulai hilir mudik. Ada suara piring dan sesuatu yang jatuh entah di mana di rumah sakit ini.
Si bapak terdiam dan ketakutan membekap dirinya. Bukan karena gelapnya padam listrik. Ada istri dan calon anaknya yang segera lahir. Bagaimana nasib mereka? Bagaimana nyawa mereka jika alat-alat operasi juga ikut mati?
Seorang suster keluar dari kamar bersalin.
"Bagaimana kondisi istri saya sus..." Tanpa menjawab, si suster segera meninggalkan si bapak. Suster tadi meninggalkan pintu ruang bersalin terbuka sedikit.
Si bapak segera mendekati pintu kamar bersalin yang sedkit terbuka itu. Ada cahaya temaram di dalam ruang. Dokter dan dua orang suster berbicara perlahan. Ada gestur kepanikan antara mereka. Ketakutan semakin menjadi dalam hati si bapak. Tidak ada suara rintihan atau tangis bayi yang terdengar. Ingin si bapak segera masuk ke dalam dan tahu apa yang terjadi.Tapi hal itu tidak mungkin. Harapan selamat istri dan anaknya menghampa seiring gelap yang terus mengepung rumah sakit ini.
'Sial..!! Kenapa ini listrik belum hidup! Istriku?? Anakku??' dalam senyap si bapak mengumpat dalam hati.
Terduduk dan putus asa, si bapak menangis di temaram lorong rumah sakit. Seorang dokter tiba-tiba keluar dari ruang bersalin.
"Maaf, bapak suami ibu Halimah di ruang bersalin?" dokter segera mendekati dan bertanya.
"Iya dok betul. Bagaimana keadaan istri dan anak saya dok? Apa mereka baik-baik saja?" panik bertanya menjadi tumpahan kekalutan si bapak.
"Maaf pak keduanya tidak . . . .
Kabar yang begitu suram seiring gelap kekalutan menyambut hidup baru si bapak.
* * *
Mariam terbangun dengan nyeri dan sakit menggigit di perutnya. Belum reda sakit amputasi tangannya, sakit kini mendera di perutnya. Kepalanya serasa ingin pecah menahan sakit bertubi ini. Fikirannya terasa gila dalam gelap mencekat ini. Pandangannya bukan lagi serasa kabur. Tapi serasa buta. Buta dengan sakit yang bersemayam lekat dalam otaknya. Gelap ini makin membuatnya nelangsa.
"Bajingan, apa lagi yang kau lakukan padaku..." Dengan segenap tenaga Mariam mencoba bersumpah serapah. Kini ia tak sanggup lagi berdiri. Tergolek dalam kepasrahan, rasa sakit di perutnya telah melumpuhkannya.
"Bunuh saja aku kau laknat!! Kau dengar aku!!?"
"Ibu Mariam? Apa itu ibu?" Tiba-tiba Johan terbangun dan terkaget.Â
"Siapa itu? Johan? Benarkah itu Johan?" Mariam terheran dalam gelap ruang ini ada Johan.
"Iya bu, betul saya Johan. Ahhhggg..!!" Saat Johan berusaha mencari Mariam dalam ruang gelap sesuatu menarik betisnya.
"Kenapa Johan? Kenapa?" Mariam bertanya dengan kepanikan. Karena Mariam tahu dalam ruang Kesempurnaan ini, hal mengerikan bisa terjadi.
"Ahhggg..!! Ada yang menarik betis saya. Seperti tersangkut." Johan mencoba menarik sesuatu dari betisnya.Â
"Crasshhh.." suara daging tercerabut dari lengan Johan. Berteriak sejadinya. Mariam bergidik ketakutan di lunglai posisi tidurnya.
"Banyak sekali kail dan tali pancing di tubuh saya bu. Banyak!" kembali Johan berteriak menahan sakit. Tali pancing dan kail sudah mengaitkan Johan ke tembok. Di setiap inchi tubuhnya. Mata pancingnya begitu besar. Mata pancing ini masuk hampir ke dalam bagian tubuh Johan. Hanya kepalanya saja yang tidak dikaitkan kail.
Luka menganga lengan Johan membuatnya merintih. Darah mengalir membasahi lantai ruang Kesempurnaan.
"Jangan bergerak Johan. Tetap di tempat. Ruang ini memang bedebah!" Mariam menyarankan sekaligus mengumpat.
"Sraakk.." panel pintu ruang ini terbuka.
"Halo tuan Johan. Selamat bergabung dengan Nona Mariam. Bagaimana rasanya terkait? Sakit bukan?" Abah tiba-tiba muncul.
"Keparat kau! Siapa kau? Akan ku bunuh kau nanti! Keluarkan kami dari sini?" Amarah Johan memuncak begitu tahu Abah melakukan hal ini padanya.
"Tuan Johan... Tuan begitu terkait dengan perbuatan busuk Nona Mariam. Begitu teraniaya jika berkata sejujurnya. Berbuat sejujurnya. Dan menulis sejujurnya. Karma tuan Johan. Karma dari tiap mata kail itu begitu sakit. Begitu nyata bagi mereka yang merasakan perbuatan busukmu dan Nona Mariam."
"Kau bicara apa keparat?!" Johan mengumpat.
"Tuan Johan tidak perlu berbohong kembali. Di ruang Kesempurnaan ini. Semua apa adanya. Bahkan tuan Johan sendiri bertelanjang bukan?" Abah menjawab dan segera menutup panel pintu.
"Hai mau kemana kau keparat!" Johan dengan amarahnya segera berdiri.
"Crashhh..." kembali daging Johan lepas dari tubuhnya. Pundaknya kini berlumur darah. Luka terbukanya segera memandikan punggung Johan dengan darah segar.Â
"Ahhggg...!!" teriakan kesakitan Johan merasakan sakit yang sangat.
"Diam disana Johan. Si bajingan itu memang mempermainkan kita." Mariam kembali memperingatkan.
"Kita harus bagaimana bu Mariam? Kita harus bagaimana??" panik dalam tanya menyekap fikir Johan.
"Entah... entahlah Johan..." Mariam putus asa menjawab dengan kekuyuan.Â
Kesenyapan lalu membekap keputusasaan dua orang ini. Putus asa antara hidup dan mati.
* * *
Bersambung
11:27 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H