Ada rasa haru, bangga berbaur dengan suka cita merayakan 17 Agustus di negri Australia. Satu momen yang mungkin tidak pernah lekang dalam hati dan fikiran. Jauh lebih bermakna dari sekadar tampilan file digital. Ulaman rasa dan suasana begitu menyatu dalam hati yang terus bercerita dari tiap masa yang sudah diukir. Begitulah rasa dan suasana momen 17-an di negri Kangguru yang baru kemarin saya rasakan. Tidak pernah menyangka jika satu saat saya bisa merasakan 17-an di negri orang.Â
Meja Among Tamu - foto: Stephanie Guna
Ada hal yang terus terpagut dalam hati orang-orang
Indonesia di negri orang sepertinya. Mereka tidak pernah akan melupakan negrinya. Sejauh dan sebaik apapun negri orang. Peribahasa hujan emas di negri orang, lebih baik hujan batu di negri sendiri benar adanya. Bukan berarti orang Indonesia tidak mau hidup enak di negri orang dengan mencari rezeki halal. Namun hati tetap akan terpaut rasa dan asal diri di negri Indonesia. Toh perjuangan kita di negri orang pasti dimulai di negri sendiri. Entah nenek-kakek kita dahulu atau kita sendiri.
Momen Bersama - foto: Stephanie Guna
Di momentum 17 Agustus tidak ada lagi seolah rasa hidup di negri orang. Mulai dari lomba yang diadakan sampai makanan semuanya khas Indonesia. Dan tentunya slogan Bhinneka Tunggal Ika benar adanya saat saya merayakan 17-an di
Wollongong. Tepat tanggal 28 Agustus kemarin, warga Indonesia di Australia merayakan 17 Agustusan di University of Wollongong. Mulai dari
senior citizen sampai
new-comer student seperti saya berbaur dalam kebersamaan. Tiada lagi membedakan warna kulit, suku, agama ataupun asal wilayah, 17-an di sini benar-benar bernuansa ke-Bhineka-an. Dan itulah sejatinya Indonesia.
Lomba Memasukkan Pensil ke Botol - foto: Stephani Guna
Anak-anak begitu senang berlomba khas Indonesia. Ada lomba membawa kelereng, memasukan pensil ke botol, makan kerupuk sampai tarik tambang dihelat oleh panitia. Anak-anak sebagai pesertanya tidak hanya dari Indonesia. Ada anak yang memang orangtuanya menikahi orang Australia. Dan mereka ingin anak mereka 'merasakan' Indonesia dengan 17-an bersama. Adapun peserta yang melihat kami orang Indonesia berkumpul di lawn lalu ikut serta. Ada satu peserta anak dari Tiongkok dengan ibunya yang antusias mengikuti tiap lomba. Dan sewajarnya dan naturalnya anak-anak, tidak ada yang bisa menghalangi mereka untuk berbaur dan bermain bersama sesudah lomba. Membahagiakan.
Santapan Kuliner Nasi Rawon - foto: Stephani Guna
Tidak lupa kuliner khas Indonesia turut dipadukan untuk menambah 'rasa' Indonesia. Mulai dari nasi rawon, sate padang sampai bakwan dihadirkan sebagai pelipur rasa lapar. Bukan sekadar mengisi perut, ada rasa di lidah dan hati yang begitu terpaut saat memakan masakan Indonesia. Sesuatu yang tidak pernah akan hilang. Plus, makan bersama karib-kerabat sesama orang Indonesia menghangatkan suasana ke-Indonesia-an. Teman saya dari Sri Lanka begitu terpesona dengan sate Padang. Sampai ia
nambah dua kali. Senangnya.
Makan Nikmat Bersama - foto: Giri Lumakto
Acara formal pun sudah diagendakan panitia. Ada sambutan dari ketua
PPIA (Persatuan Pelajar Indonesia di Australia) sebagai koordinator acara. Juga ada sambutan dari ketua panitia 17-an dengan timnya yang masih muda-muda seperti saya. Dan suatu kehormatan pula, sambutan dari perwakilan Konjen Indonesia di Australia. Saya merasa haru dan bangga saat kami bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Walau tidak memenangkan medali emas Olimpiade seperti atlit bulutangkis kita, namun rasa bangga itu begitu terasa. Saya dan orang-orang Indonesia disini begitu jauh dengan Indonesia. Namun hati begitu dekat dengan negri asal kami.
Semoga 17-an di semua negri bisa tetap menjalin rasa dan suasana Indonesia. Mengukuhkan Bhineka dalam Tunggal Ika.
Salam Merdeka!
Wollongong, 29 Agustus 2016
08:29 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya