"Nduk, buat apa kamu sekolah tinggi-tinggi? Lihat Darmawan. Dia jalankan usaha selepan bapaknya sudah jadi orang kaya dia sekarang. Lha kamu?" sambil menyeruput kopi hitam di cangkir kaleng loreng hijau, bapak mewajangi.
"Ah bapak ini. Saya ke luar negri juga bapak yang mengijinkan to? Ingat nda 4 tahun lalu?" Retno menyanggah.
"Lha iya nduk, bapak tahu itu. Tapi apa yang kamu dapat sekarang? Buku karanganmu? Itu juga belum bisa kamu jual banyak?"Â
"Yang penting kan ilmunya pak. Siapa tahu 5 atau 10 tahun lagi bermanfaat."
"Lha kalau bermanfaat. Apa kamu yakin bisa dapat uang banyak nduk?" bapak mulai naik nada suaranya.
"Kaya atau tidaknya kan ya relatif pak. Saya belajar tinggi-tinggi karena saya suka sama ilmu saya pak. Manfaatnya akan lebih bermakna dari sekadar rupiah kan pak. Coba deh bapak fikir?" Retno halus menjabarkan.
"Nduk nduk. Kamu itu ya harusnya realistis! Manusia itu hidup dengan uang. Bukan ilmu..." bapak segera beranjak pergi dari bangku teras.Â
Retno tertunduk dan berfikir.Â
'Kamu itu benar. Ilmumu bermanfaat.' Egonya berbisik.
'Bapak juga ada benarnya. Kamu sudah beri apa ke bapak sampai saat ini?'Â Tapi logikanya berkata lain.
Ilmu dan uang tidak pernah bisa berjalan beriringan. Ilmuwan banyak yang miskin. Bukan karena tidak mampu menghidupi diri sendiri. Tapi karena ilmunya begitu melekat. Sehingga ilmunya terkadang menjadi ego. Antusiasme mereka membuyarkan realitas dunia. Di dunia, kita harus hidup dengan uang, dan bukan dengan ilmu belaka. Jauh-jauh dan capek-capek menuntut ilmu di jaman seperti ini jika tidak kembali modal, juga buat apa? Walau sekolah bukan biaya sendiri. Tapi ilmu yang didapat belum bisa mengembalikan jasa dan uang yang telah diberi.