Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cogito Ergo Dubito #1

26 Agustus 2016   18:29 Diperbarui: 26 Agustus 2016   21:13 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Temperance - ilustrasi: cbdtarot.com

'Retno, Retno. Mau balas apa kamu ke bapak? Sedari kecil kamu dibesarkan sendiri oleh bapak. Tapi belum ada hal realistis yang kamu beri...?' Berbisik lembut nuraninya.

Semakin kamu berfikir, semakin enggan kamu menerima kenyataan. Retno beranjak pergi ke dapur. Ada makan malam yang harus disiapkan.

Makan malam bernaung sunyi. Bapak sepertinya masih terasa berat hati soal tadi sore. 

Wajah bapak banyak teman-teman Retno menganggapnya galak. Bahkan Saud, kawan SMA-nya dulu pernah dimarahi karena bertamu malam. Padahal ia cua sebentar mengantar buku yang dipinjamnya di kelas. Dan karena galaknya itu pun Retno sungkan membawa laki-laki ke rumah. 

Retno sebelum bertolak ke Belanda punya pacar. Namun putus saat Retno menginjak bulan ke 10. Sepertinya LDR memang bukan untuk dirinya yang 'gila ilmu'. Kadang sampai lupa mengabari ke Johan, pacarnya, dulu. Johan pun sepertinya sibuk dengan kerjanya di Bandung. Ingin mengabari juga sepertinya ia orang yang sungkan. Retno tahu betul Johan tipe pendiam sekaligus 'penunggu'. Bukan 'penunggu' yang serba gaib. Tapi jarang berbicara kalau memang tidak begitu penting. Sudah 5 tahun hubungannya dibingkai bersama waktu itu. Kandas juga dengan angka 10 bulan lama berpisah

"Dua hari lagi Retno mau pamit ke Pontianak pak. Mau ada seminar" Retno mencoba membuka percakapan.

"Ya nduk. Hati-hati. Jangan lupa pamit ke makam ibu seperti biasa." bapak mengingatkan.

Pamit ke makam ibu adalah ritual untuk Retno. Sudah sejak SMP ia lakukan. Dulu bersama bapak. Sejak SMA Retno mulai berani sendiri. Bapaknya berpesan sesuai wasiat ibundanya dulu, Retno kalau pergi keluar desa diminta pamit sama ibu. Walau ibu nanti sudah di liang lahat. Dan sejak saat itu ritual ini dilakukan. Baik pergi ke rumah paman di Jakarta atau cuma berkunjung ke dokter di kota Magelang, Retno selalu mampir ke makam ibunya. 

Dan ritual yang sama dilakukan Retno dimakam ibu. Retno akan mengelus nisan sang ibu. Dan membayangkan itu adalah rambut sang ibu yang terurai sambil tertidur. Lalu berucap 'Ibu, Retno pergi dulu..'. Lalu ditambahkan tujuannya hendak kemana. Setelah itu, tak lupa Retno taruh seuntum kamboja kuning tepat di depan nisan sang ibu. Kata bapaknya sebagai tanda terima kasih sudah menginjinkan Retno pergi keluar desa. 

"Sama siapa kamu kesana?"

"Sama teman-teman kampus pak. Ada 3 orang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun