Batas akhir pembuatan e-KTP adalah 30 September. Dan entah mengapa bertepatan dengan hari peringatan G-30 S/PKI? Tidak ada yang istimewa. Hanya saja analogi simbolisasi bisa saja dibuat oknum-oknum tak bertanggung jawab. Misalnya, kenapa harus 30 September? Jangan-jangan Mendagri antek-antek PKI? Lalu ujung-ujungnya dibuat konspirasi ngawurisme yang dihubungkan ke Presiden. Dendam masa Pilpres yang dulu sempat menuduh Jokowi adalah PKI benar adanya. Heboh pula cakrawala netizen. Jangan sampai pula ada yang ditangkap polisi gegara kena UU-ITE.
Contohnya sudah banyak. Dan berita baru-baru ini saja ada 2 orang perempuan yang dilaporkan penggiat budaya di Medan. Semua gegara Presiden Jokowi yang memakai busana adat Batak. Dengan pemahaman ngawurisme mereka, diolok-oloklah Presiden dengan baju adat Batak tadi. Masuk DPO-lah 2 perempuan ini. Â Meme yang mereka buat kelucuannya sebatas apa yang mereka tahu. Sedang bagi orang lain malah menjadi penghinaan.Â
Kita kembali ke e-KTP dan G-30 S/PKI diatas. Dan seolah tiada habis konspirasi ngawurisme oknum yang tidak rela dipimpin Presiden Jokowi, judul diatas bisa saja viral nanti. Mungkin banyak yang mengira dengan medsos kita memakai topeng. Percayalah, tiap kita diawasi 24 jam di internet. Dengan log-in di Kompasiana saja kita dengan sukarela berbagi alamat dengan server. Dan mudah saja bagi satuan cyber crime melacak orang-orang awam internet seperti saya.
Saya kira penetapan tanggal 30 September untuk batas pembuatan e-KTP tidak disengaja. Walau secara faktual, 22 juta e-KTP harus dibuat dalam waktu 30 hari juga sulit. Dengan keterbatasan akses jaringan dan jasa, ada kenihilan dalam pembatasan waktu ini. Ditambah banyak orang yang belum dibuatkan KTP dengan beragam alasan dari Kelurahan/Kecamatan/Dukcapil juga akan membentuk iklim pesimisme.Â
Dan tentu isu ini sangat pas jika dikaitkan dengan kinerja Mendagri sekarang. Walau program e-KTP sudah ada sejak 2011 lalu, bagi yang tidak mau tahu isu ini bisa saja dibuat menghantam Mendagri saat ini. Ditambah tanggal penetepan akhir pembuatan e-KTP 30 September. Ditambah kompor media mainstream yang sekadar cari sensasi demi rating yang tinggi. Petik berita hoax atau isu belaka bisa saja terjadi.Â
Dampak ngawurisme dicampur dendam, dengki dan iri mudah saja 'diaspirasi' di dunia maya dengan posting dan status. Namun bak hamparan toko di pusat perbelanjaan, status dan posting kita dilihat dengan mudah orang lain. Apalagi pihak yang berwajib yang kini kian awas di dunia maya. Tinggal tunggu waktu saja jika ada posting atau status medsos yang menyerempet UU-ITE akan bisa ditindak ke meja hijau.Â
Banyak pula oknum-oknum yang kini masih aman dibalik topeng di dunia mayanya. Mereka membuat berita atau posting hoax demi traffic dan klik di websitenya yang penuh iklan. Mencoba mencari sesuap nasi ditengah barisan sakit hati dan pecinta negri ini. Apalagi yang bisa oknum ini perbuat selain menebar jala sensasi dibumbui kata Jokowi, Ahok, PKI, pihak asing dan hal-hal bernuansa SARA. Eksistensi mereka nyata dengan sensasi ini. Walau begitu rapuh bersembunyi dibalik ngawurisme yang mereka buat.
Semoga saja prediksi saya ini salah nantinya. Tidak pula ingin membuat oknum-oknum tidak bertanggung jawab mulai memetakan fitnah. Atau membuat publik malah berburuk sangka. Namun kiranya Mendagri mendengar. Mungkin beliau bisa mengubah jadwal penetapan batas akhir e-KTP. Karena saya yang jauh di negeri sebrang juga belum punya e-KTP. :-)
Salam,
Wollongong 26 Agustus 2016
12:04 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H