Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengurai Dilema Anak SD Naik Motor ke Sekolah

25 Juli 2016   08:43 Diperbarui: 25 Juli 2016   21:32 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkejut sekaligus banyak berpikir menyaksikan anak SDN 1 Bendoroto, Trenggalek mengendarai motor ke sekolah. Bukan cuma 1-2 murid, banyak siswa SD ini memakai motor. Persis seperti apa yang saya tahu di parkiran kampus. Hampir semua mengendarai motor. Dan yang membuat saya bertanya-tanya sepertinya pihak sekolah mengijinkan siswanya mengendarai motor. Dan tentu dengan dasar akomodasi dan akses yang sulit menuju sekolah. Sedang media dan netizen lebih banyak nyinyir akan hal ini.

Saya pikir hal ini sudah terjadi lama. Selama akses jalan dan transportasi di desa kaki gunung sangat minim, fenomena ini tidak cuma terjadi di desa Bendoroto Trenggalek saja. Motor menjadi moda transportasi praktis. Walau saya pun yakin, orangtua siswa SD ini tidak akan tega membiarkan anaknya mengendarai motor sendiri. Namun bagai dilema, fenomena ini nampaknya dibungkus dengan alasan valid agar menjadi legitimasi.

Akses jalan dan transport terbatas menjadi general rationale dalam hal ini. Alasan valid lain adalah kasih orangtua yang tidak ingin anaknya terlihat susah. Tidak ingin bagi orangtua melihat anaknya berjalan sekian kilometer untuk bersekolah. Dengan kata lain, tidak ingin anaknya menderita serupa orangtuanya dulu. Orangtua punya uang dan pekerjaan. Mengapa tidak membeli motor untuk anaknya. Walau sadar mereka masih belia usianya.

Dan mungkin alasan yang divalidkan secara sosial adalah gengsi. Baik gengsi yang muncul antar orangtua siswa SD. Maupun antar siswa SD itu sendiri. Ada saja orangtua yang ingin anaknya terlihat kaya dan wah dengan mengendarai motor. Tak ayal, orangtua lain tak ingin terlihat susah dan dianggap miskin jika anaknya tidak naik motor. 

Begitupun di obrolan anak-anak SD itu sendiri. Seorang siswa SD akan sudah mengenal status ekonomi dari apa yang mereka miliki. Bukankah hal ini yang TV dan lingkungan banyak ajarkan. Siswa dengan motor akan lebih dianggap 'tinggi dan berbeda' dibanding temannya yang sekadar naik sepeda atau jalan kaki. Anda bisa hitung sendiri lebih mahal motor daripada sepeda. Dan saya yakin anak SD jaman sekarang pun faham tentang ini.

Beda Perspektif Bukan Berarti Menjatuhkan, tapi untuk Membangun

Media, netizen dan pihak-pihak terkait pun menyayangkan fenomena ini. Bahkan banyak juga yang nyinyir bukan main melihat anak SD pulang-pergi sekolah naik motor. Mereka gemas. Belum dewasa tapi sudah naik motor. Mereka tentunya lebih sembrono dalam berkendara. Dan tidak mungkin ada SIM untuk anak SD. Mereka pun marah. Banyak menyalahkan orangtua siswa yang memberi motor. Ada yang memberi saran agar diantar. Ada juga yang meminta pihak Polantas menertibkan dan memberi hukuman. 

Namun percayalah, fenomena ini tidak semudah orang kota memandangnya. Orang kota mungkin mudah memberikan saran dan solusi. Ada yang minta saran untuk anaknya dijemput dengan jemputan sekolah. Atau memberi solusi agar pulang dengan ibu A atau B atau C yang kebetulan satu tujuan dan arah. Saya pun yakin ada siswa SD/SMP yang mencuri-curi kesempatan pergi ke sekolah dengan motor. Walau tidak memakai jalan raya/utama, ada saja yang pintar menggunakan jalan alternatif.

Art Mothers Children Artist Kathe Kollwitz - ilustrasi: pinterest.com
Art Mothers Children Artist Kathe Kollwitz - ilustrasi: pinterest.com
Ada tiga hal yang bisa memberi solusi dalam sengkarut dilema ini.

Pertama, orangtua harus paham betapa berkendara di usia dini sangat berbahaya. Dan sejauh atau seterpencil apapun daerah, anak harus tetap didampingi orangtuanya ke sekolah. Sesibuk apapun orangtuanya, masih ada solusi untuk mengantar anak. Misalnya, pihak sekolah dan orangtua harus urun rembug membhasa keterbatasan akses dan akomodasi yang mereka punya. Saya kira sekolah bisa membuat jemputan untuk anak-anak ini. Uangnya didapat dari iuran atau uang urunan dari orangtua siswa. Orangtua siswa mampu membeli atau mencicil motor. Kenapa tidak iuran membeli mobil jemputan sekolah yang sederhana saja.

Kedua, sekolah dan pihak terkait memberi penyuluhan dan penjelasan akan bahaya berkendara di usia SD. Tentunya, dengan diskusi formal dan kekeluargaan orangtua siswa dan pihak sekolah bisa diberi pemahaman. Dampak buruk dari usia SD dengan pribadi yang cenderung kekanakan tidak tepat berkendara motor. Motor hanya untuk orang dewasa dengan kedewasaan berfikirnya. Jika pun mungkin, ada hukuman bagi siswa yang masih ngeyel berkendara motor ke sekolah.

Ketiga, dilema fenomena ini tentunya tidak hanya terjadi di Trenggalek saja. Bisa dan memang terjadi juga di daerah lain di Indonesia. Harus ada tangan pemerintah melalui Kemendikbud dan Kepolisian. Dengan tindakan preventif (memberi akomodasi jemputan layak) dan kuratif (memberi hukuman) tangan pemerintah bisa segera bertindak. Dan mungkin beberapa tindakan nyata lain yang kiranya dua pihak ini bisa perbuat.

Walau solusi yang ada bisa banyak kita perbuat, tanpa adanya kerjasama banyak pihak fenomena ini akan terus ada. Orangtua siswa, sekolah dan otoritas pendidikan dan kepolisian harus membangun kefahaman yang baik. Terutama untuk orangtua siswa yang lebih banyak berinteraksi dengan anaknya. Tidak ayal, semua konsekuensi buruk dari fenomena ini akan kembali ke orangtua. Dan sungguh sangat disayangkan jika terjadi hal-hal buruk terjadi pada anak mereka gegara berkendara motor.

Dan kebijakan dalam memandang dan memberi kontribusi untuk permasalahan pendidikan anak bangsa, harus dikerjakan bersama. Jika hanya berkomentar nylekit, semua orang bisa. Namun memberi masukan akan lebih berfaedah.

Salam,

Wollongong, 25 Juli 2016

11:43 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun