Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nak, Disinilah Rumah Keduamu

19 Juli 2016   10:09 Diperbarui: 19 Juli 2016   12:45 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
My School - ilustrasi: de1000colores.wordpress.com

Mari perkenalkan dan akrabi anak kita dengan rumah keduanya. Rumah sudah menjadi fondasi dasar mendidik anak. Sejak dibuaian, anak sudah diperkenalkan banyak hal. Mulai dari belajar menyebut mama-papa, ibu-bapak, dan ayah-bunda. Sampai mengenal kucing, burung, motor, bulan, dll. Semua dilakukan di rumah. Dan yakinlah, anak akan kembali ke rumah tempat ia belajar dahulu. Sebagai sebuah tempa berlindung dan mendapat kasih sayang, kita sebagai anak pun akan tetap pulang ke rumah. Seberapa jauh pun atau sejelek apapun, seorang anak kembali ke rumahnya.

Jika rumah tempat anak dibesarkan adalah rumah pertama, maka sekolah adalah rumah kedua. Sekolah menjadi bagian integral kehidupan dan perkembangan seorang anak. Dalam meniti dan mencapai sukses dalam hidup, pendidikann formal tidak bisa dipisahkan. Sekolah menjadi tumpuan anak dalam menyempurnakan hidupnya. Sehingga tak ayal, sekolah adalah rumah kedua bagi anak. Tempat anak menempa sisi kognitif, afektif secara sosio-kultural. Sekolah menjadikan anak homo-sosialis seutuhnya.

Dan tak bisa dipungkiri, hari pertama sekolah menjadi ground-breaking untuk anak menjadi bagian dari masyarkat. Dan dalam 'event' seperti ini, orangtua harus sepatutnya mendampingi. Menjadi anak SD mungkin bukan sesuatu yang mudah bagi anak yag selesai dari TK. Menjadi anak SMP setelah lulus SD pun juga tidak mudah beradaptasi. Sama halnya menjadi anak SMA yang dicap dewasa, sulit terbayang bagi mereka yang baru lulus SMP. Orangtua yang pernah sekolah SD, SMP, SMA wajib memberi gambaran awal sekolah. 

Mengantar mereka menuju rumah kedua anak menjadi bagian tidak terpisahkan pula. Jika di rumah ada orangtua sebagai ayah ibu. Maka di sekolah sebagai rumah kedua anak, guru adalah orangtua mereka. Dan lumrah jika ayah-ibu harus tahu siapa guru dari anak mereka. Ayah-ibu adalah guru di rumah. Dan di sekolah, guru mengambil peran orangtua. Baik ayah-ibu atau guru sama-sama wajib mendidik anak. Keduanya mengasuh dengan kasih dan sayang. Walau dalam perspektif formalitas, sekolah mendidik dengan menekankan sisi kognitif-sosial dan administratif. Sedang dirumah, anak akan banyak dipaparkan pada sisi afektif-sosial dan intimasi.

Mengantar anak menjadi simbol yang begitu intim antara orangtua dan guru. Orangtua harus percaya guru memberi yang terbaik untuk anaknya. Dan guru wajib memberi keyakinan anak mereka ada di tangan yang baik. Bersua wajah dan bersalaman menjadi pertanda yang menguatkan hubungan. Berkenalan nama, tempat tinggal dan nomor telepon menjadi pengukuh kepercayaan antara orangtua-guru. Ditambah aktifitas tour sekolah dan segala perangkatnya, menjadikan rumah kedua anak dikenal lebih baik oleh orangtua. Orangtua mana yang tidak ingin anaknya mengakrabi rumah sendiri. Begitupun juga dengan mengakrabi sekolah sebagai rumah kedua mereka.

Sekolah Adalah Rumah Kedua, Jangan Sepelekan

Bagi sebagian orangtua mungkin menganggap interaksi ini sepele. Namun axioma Tak Kenal Maka Tak Sayang jangan pernah terlupakan. Pertama, tak kenal gurunya, maka orangtua bisa merugi. Menyerahkan tanggung jawab mendidik anak sepenuhnya ke guru adalah tindakan sembrono. Orangtua dengan kemampuan finansial yang baik mendidik anak di sekolah mahal. Dan yakin anak akan menjadi sukses dengan pendidikannya. Karena di sekolah mahal percaya anak bisa mandiri dengan fasilitas dan perangkat sekolah yang juga baik. Mengantar anak pun diabaikan. 

Namun hilangnya interaksi awal orangtua-guru bisa menjadi gap besar dalam mencoba mendidik anak dengan baik. Ada kesenjangan keinginan dan interaksi antara orangtua-guru. Orangtua merasa yakin gurunya bisa mendidik. Dan guru merasa anak dari keluarga mampu pasti bisa mandiri dan bersaing dengan baik. Kerancuan ini bisa terjadi berlarut jika awal perkenalan dengan guru sebagai orangtua kedua disepelekan. Yang terjadi, saat pembagian rapor banyak menuntut jika nilai anak mereka jelek. Guru merasa anaklah yang tidak dididik dengan baik di rumah. Anak menjadi korban interaksi awal orangtua-guru yang kurang percaya dan kekeluargaan. Karena menjadikan sekolah hanya sekadar bangunan fisik semata.

Kedua, dalam mengakrabi rumah ke dua orangtua dan guru harus bersama memperkenalkannya. Orangtua harus melihat kantin, agar faham anak akan membeli makanan yang baik dan sehat. Bukankah orangtua juga memasak makanan yang baik dan sehat untuk anak di dapur rumah mereka. Orangtua harus melihat kelas anak agar belajar nyaman dan menyenangkan. Bukankah anak juga diberi tempat untuk bermain atau belajar yang nyaman di rumah. Bukan sepenuhnya sekolah harus merepresentasi sekolah. Namun orangtua harus tahu anak mereka mendapat rumah kedua mereka laik dan pantas untuk anak bisa belajar.

Guru juga perangkat sekolah harus bisa menjamin kantin menjual makanan sehat dan baik. Perangkat sekolah dan guru semaksimal mungkin memberikan kenyaman yang baik dalam kelas. Kenyamanan dalam belajar tidak sekadar ditopang fasilitas lengkap dan mahal. Namun guru sebagai entitas penghidup kelas dan interaksi belajar mengajar menjadi penting. Fasilitas memadai jika guru tidak sepenuh hati mendidik juga sulit mendapat kenyamanan dalam kelas. Walau guru juga tidak bisa menjamin sekolah akan merepresentasi rumah masing-masing siswa. Namun interaksi dan komunikasilah yang bisa menjadikan anak merasa di rumah sendiri.

Dan bahu membahu, orangtua-guru harus saling membangun anak. Di kedua rumah, anak tetap akan menjadi peserta didik. Dan makna tersirat dalam interaksi dalam mengantar anak hari pertama sekolah adalah kedua pihak adalah guru. Baik orangtua maupun guru sekolah, adalah mentor anak mereka. Baik di rumah dan di sekolah, mendidik anak harus dijalin dari dua sisi. Orangtua harus menyadari betapa penting hal ini. Baik di rumah pertama maupun kedua, anak harus konsisten belajar. Dirumah secara informal anak belajar. Dan di sekolah secara formal mereka belajar. Dan hari pertama mengantar anak sekolah adalah citra dari menjalin hubungan yang baik antar 'kedua orangtua'. Bersinergi dan menjalin komunikasi yang baik adalah juga inti dari Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah.

Salam,

Sydney, 19 Juli 2016

01:08 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun