Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Mengendarai Mobil, Tapi Mentalnya Pengendara Motor

20 Juni 2016   11:46 Diperbarui: 20 Juni 2016   11:51 1515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelik memang jika sudah membahas masalah jalan raya. Dengan segala hiruk pikuk dan dinamikanya, lalulintas menjadi entitas kehidupan tersendiri. Tidak heran jika pengendara yang sebelum ke jalan raya bisa bersabar, bisa bersumbu pendek di jalan raya. Apalagi mereka yang memang tempramental, jalan raya mungkin menjadi medan perang tersendiri. Mulai dari kemacetan sampai perilaku pengendara yang serampangan, menjadi makanan sehari-hari. Bingungnya, sudah tahu kalau macet dan ruwet, tapi masih banyak orang yang menambah kendaraan atau mengompori kemacetan.

Panjang dan akses jalan dibanding jumlah kendaraan yang timpang menjadi penyebab macet dan ruwet lalulintas. Belum lagi perilaku pengendara yang kian hari kian semaunya. Pengendara motor dengan jumlahnya yang banyak merasa menjadi raja jalan raya. Tak ayal, karena banyak ditambah mental berkendara yang memprihatinkan, mereka kadang menjadi vandalis. Merusak median jalan, masuk ke trotoar, atau memakan lajur kiri kian sering terlihat. Pun, pengendara mobil kadang sembrono di jalan raya.

Banyak pengendara mobil yang memiliki mental pengendara motor. Sepertinya kenyamanan dalam mobil tidak merubah mental mereka. Banyak juga yang malah tidak meninggalkan kebiasaan mereka menaiki motor. Atau memang mereka mencontoh secara tidak sadar perilaku pengendara motor. Berikut beberapa contohnya:

1. Memarkir mobil sembarangan. Pernah satu ketika saya lihat mobil diparkir pas di belokan sebuah jalan. Si empunya mobil ingin membeli bakso. Tapi sepertinya malas mencari lahan untuk parkir. Jadilah mobil berhenti tepat di belokan jalan. Tak ayal, pengendara lain pun kesal. Ada mobil yang hendak berbelok namun terhalang. Si pengendara mobil dengan santainya memesan bakso dibungkus. Itu pun menyela antrian saya yang sudah datang lebih dulu. Beberapa saya pernah jumpai parkir tepat di pinggir jalan. Walau untuk urusan sebentar, tapi dengan lebar mobil yang lebih besar dari motor ada baiknya mencari tempat parkir. Walau saya yakin juga sulit mencari tempat parkir di kota besar. Namun setidaknya jangan mengganggu arus lalin.

2. Mengambil lajur kiri. Beberapa lampu merah berisi peringatan 'Belok Kiri Boleh Langsung'. Namun beberapa tidak. Banyak memang pengendara motor yang memakan lajur ini. Jadi pengendara lain pun terhambat. Gemes jika melihat pengendara mobil yang melakukannya. Pernah saya lihat mobil sebesar Paj** memakan lajur kiri. Dengan santainya si pengendara mobil menunggu sampai lampu lalin beralih hijau. Lalu ia melaju. Suara klakson mobil atau motor di belakang si Paj** nampaknya sengaja dicuekin. Telinganya saja tidak dengar. Apalagi hatinya.

3. Berbelok tanpa sen (rating/lampu isyarat). Persis seperti pengendara motor yang berbelok tanpa sen/rating tiba-tiba, pengendara mobil banyak yang melakukannya. Selain menyebalkan, hal ini pun membahayakan. Motor yang tiba-tiba belok saja berbahaya apalagi mobil. Tak ayal, pengendara lain pun tersulut emosinya kadang. Saya pun kadang melihat pengendara mobil seperti ini. Nampaknya kebiasaan naik motor dengan tiba-tiba membelok masih melekat di perilaku berkendara. 

4. Melaju dengan lambat di jalan raya. Entah mencari alamat atau tempat makan, mobil melambat juga menyebalkan di jalan raya. Bukankah sebaiknya berhenti untuk melihat peta atau bertanya lokasi? Daripada membuat macet kendaraan lain, dengan bodi sebesar itu bukankah mobil tidak melambat di jalan raya. Melambat mungkin tidak terlalu masalah di jalan kompleks perumahan atau jalan desa. Tapi dengan lalin padat, melambat hanya menjadikan jalan raya tersendat arusnya. Belum lagi klakson emosi dari pengendara lain.

Jika pengendara motor memiliki level 5 dalam kesabaran, bukankah pengendara mobil harusnya lebih dari itu? Apalagi dengan harga berkali lipat dari motor pada umumnya, bukankah sayang mobilnya jika dijaili orang gegara masalah jalan raya. Atau dengan kenyamanan lebih daripada motor, pengendara mobil bukankah seharusnya lebih senang. Hujan tidak kehujanan, panas tidak kepanasan. Jika memakai motor waktu tempuh sampai tempat tujuan 1 jam. Bukankah pengendara mobil harus berangkat 2-3 jam sebelumnya? Saya rasa kemacetan kota besar dan ruwetnya lalin sudah sama-sama difahami?

Salam,

Solo, 20 Juni 2016

11:46 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun