Bulan puasa segera tiba. Televisi penuh dengan warna-warni dan pernak-pernik nuansa puasa. Mulai dari iklan sirup manis yang pasti iklannya muncul sebelum puasa. Sampai iklan mie instan yang jinglenya dari kecil sudah sangat kita hafal menghiasi acara harian TV kita. Paling banyak tentunya adalah iklan makanan dan minuman. Karena entah mengapa, konsumsi kita lebih banyak di bulan puasa daripada bulan lainnya.Â
Nuansa berpuasa memang akan terasa saat TV menjadi konsumsi fikiran sehari-hari. Acara-acara bernuansa religi juga akan muncul. Mulai dari yang berbentuk kultum. Sampai sinteron religi dan lomba da'i cilik akan menghiasi pertelevisian nasional. Mulai dari pukul 2 pagi sampai tengah malam, acara bercorak religi menjadi acara unggulan. Entah mengapa, TV kita menjadi 'muslim' saat bulan Ramadhan.
Belum lagi artis dan selebriti, terutama perempuan yang mulai ramai memakai jilbab. Saat puasa, mereka menyanding jilbab, hijab, atau entah apa namanya di kepala mereka. Entah dengan niat menghormati bulan puasa atau tulus karena agama yang meminta demikian, selepas bulan puasa mereka kembali seperti sedia kala. Yang tersirat adalah, agar mata kamera tetap untuk mereka, tutuplah sebagian jidatmu dengan kain. Atau rentangkanlah baju gamis agar ada acara gosip yang tetap meliput.
Nuansa religius di televisi menjadi simalakrum di semestanya sendiri. Ia adalah tanda dan petanda yang saling silang sengkarut menampilkan apa makna bulan Ramadhan. Apakah dengan mengkonsumsi makanan berlebih ketika berbuka? Apakah dengan merayakan religiusitas dengan acara bertema Islam? Apakah dengan menjuntaikan jilbab dan gamis dari para artis?
Penonton yang menerima makna di layar televisi rumah-rumah pun saling kusut dalam kelindan. Apakah berpuasa itu berarti membeli semua makanan dan minuman yang diiklankan? Kalau belum membelinya belum sah berpuasa. Atau berpuasa itu berlama-lama di depan televisi menyaksikan acara bercorak religius? Karena toh menyaksikan yang baik adalah ibadah. Juga, berpuasa itu sekali-kali sebagai seorang perempuan menghela jilbab bak selebriti tadi. Selebriti saja berjilbab, masa kamu tidak.
Dulu, konon berpuasa adalah berpuasa. Tidak ada tuntunan dari televisi seperti saat ini. Menahan lapar dan haus tanpa usah diiming-imingi iklan sirup atau mie instan. Berpuasa adalah apa yang orangtua kita lakukan. Apa yang tetangga lakukan saat taraweh. Apa yang teman-teman lantunkan dari ayat suci saat subuh. Semua yang dilakukan orang bersama-sama di masjid mempersiapkan ta'jil. Puasa bermakna menjalin tautan antara manusia-manusia-semesta-tuhan.Â
Saat ini puasa lebih berat timbangannya ke manusia-benda-nuansa. Puasa berarti televisi yang kini menjadi beragama. Puasa kini berarti membeli berlebih agar sah sahur dan berbuka. Puasa kini kamuflase nuansa dengan menonton ceramah dan memakai baju koko dan berjilbab. Berpuasa aliran kontemporer tidak lepas dari konsumerisme dan glamor. Tuhan itu urusan masing-masing kita. Ia ada. Bak mata yang tidak sama sekali memperhatikan kalau hidung ada di depannya.
Puasanya manusia-manusia-semesta-tuhan masih ada. Tentu maknanya akan tetap dijaga dan terjaga. Pergilah ke desa di pucuk gunung. Di mana telebisi menjadi barang mewah. Di mana listrik serupa majalah yang terbitnya mingguan. Di mana manusia dan alam dengan tuhannya mengurai makna berpuasa dengan otentik dan apa adanya.
Salam,
Solo, 18 Mei 2016
11:06 am