Setelah menunggu 2 dasawarsa lebih, DiCaprio (The Revenant) akhirnya membopong Oscar pertamanya. Dinominasikan sebagai Best Actors, ternyata impiannya menjadi kenyataan.Â
Dunia pun bergempita. Meme yang dulu mengolok-olok DiCaprio akhirnya mencapai ejakulasinya. DiCaprio akhirnya mendapat 1 piala Oscar. Filmnya yang dibintanginnya pun menyabet gelar bergengsi untuk The Best Director. Nampaknya DiCaprio benar-benar bisa berbangga hati.
Dunia netizen pun gempar. Tagar #LeonardoDiCaprio plus #Oscar pun menjadi trending. Meme DiCaprio memegang Oscar pun diimbuhi beragam caption. Mulai dari ucapan selamat sampai (kembali) nyinyir atas terpilihnya DiCaprio sebagai aktor, ditulis dalam meme.Â
Media dalam dan luar negri pun memberitakan kemenangan DiCaprio dengan 'lebay'. Tak lupa acara gosip di negri kita pun turut rembug kelebayannya memberitakan hal ini. Dan jarang yang benar-benar mengkritisi isu rasisme dibalik Oscar itu sendiri.
Rasisme Oscar dan Kita Orang Indonesia
Sepertinya karena orang Indonesia sudah biasa melihat film bule, yang menang kaum Kaukasus adalah wajar. Jika yang menang orang Afro-American, ya cukup selamat saja. Tidak begitu ngeh kontroversi dibaliknya.Â
Pun, banyak yang merasa rasisme di Amerika Serikat tidak berpengaruh banyak ke Indonesia. Tapi tahukah kita, bahwa superioritas kaum Kaukasus dalam film menjadi racun dalam kepala orang Indonesia. Karena film Hollywood begitu wah, hebat, high-tech dengan aktor-aktris 'sempurna', bawah sadar kita begitu teracuni superioritas ras Kaukasus.
Buktinya, lihat saja betapa senang orang kita berfoto dengan 'bule'. Kalau sudah berambut pirang, kulit pucat, dan berbahasa asing, pokoknya minta untuk berfoto bareng. Betapa bangga dan pongahnya orang kita seusai berfoto dengan si bule.Â
Disebarlah di sosial media mereka. Walau entah siapa bule tadi. Artiskah? Atau wisatawan biasa? Kalau sudah berfoto dengan bule ada 'kebanggaan' tersendiri. Beda rasanya jika berfoto dengan orang asing yang colored skin.
Inilah superioritas yang begitu subliminal merasuk dalam fikiran kita. USA sebagai negara adikuasa tidak sekadar omong kosong. Dari semua segi, USA memanfaatkan citranya. Dengan film pun demikian. Dengan film yang sulit disaingi negri sendiri, Hollywood menjadi silent weapon khusus. Terutama negara ketiga seperti kita. Supremasi ras tertentu yang dibalut apik dengan hiburan dan bisnis nampaknya tidak terasa. Apalagi isu rasisme didalamnya.