[caption caption="Sex Symbols - ilustrasi:sheknows.com"][/caption]Â Pertanyaan yang cenderung konyol coba saya tanyakan. Apakah tulisan yang kita buat memiliki jenis kelamin? Saat semua sibuk dengan dunia tulis menulis, apakah ada dikotomi pria-perempuan untuk tulisan itu ada? Bukan sekadar memahami karya adalah milik penulis yang kebetulan pria atau perempuan saja. Lebih dari itu, apakah tulisan yang kita ciptakan termasuk ke pemilahan jenis kelamin? Bukankah jejak-jejak si penulis, baik pria atau perempuan, bisa saja ada. Lalu tulisan kita memiliki 'jenis kelamin' tertentu.
Tamsilan untuk mensolidifasi preposisi saya adalah, semua penciptaan alami berbasis dikotomi biner. Dengan kata lain, ciptaan didasarkan dua oposisi. Contohnya seperti pria-perempuan, siang-malam, bulan-matahari, panas-dingin, dll. Lalu, ciptaan manusia berupa karya tulis juga laik dikotomi ke dalam jenis kelamin. Tulisan itu seperti anak yang kita ciptakan. Walau dalam hal ini ia akan kekal, namun perlu dikonfirmasi apa jenis kelamin tulisan yang kita buat.
Pra-kondisi Menetukan Jenis Kelamin Tulisan
Ini hanya sebuah asumsi yang kiranya belum bisa valid. Apalagi untuk kesusastraan yang lebih cenderung melihat sisi gender dari karya tulis. Mari kita coba bedakan dahulu antara gender dan jenis kelamin perihal tulisan. Gender menurut definisinya lebih mengacu pada peran individu. Dalam hal tulisan, gender dalam tulisan akan lebih terasa dalam style si penulis pada karyanya. Tulisan akan cenderung berkesan feminis atau maskulin. Dalam hal ini, feminis atau maskulin bukan menjadi indikator jenis kelamin pria atau perempuan.
Sedang jenis kelamin (sex) akan mengacu pada kodrat alam preferensi seksual. Dalam hal ini, mengacu pada signifikasi fisik. Sedang dalam tulisan, yang saya coba angkat adalah 'jenis kelamin'. Dan dalam hal ini, bukan style dalam tulisan. Karena feminis-maskulin adalah kesan yang dibuat. Sehingga, bisa saja kesan ini adalah aksesoris semata. Atau dalam hal ini bisa saya sebut sebagai topeng. Sehingga, jenis kelamin tulisan bisa saja ditutupi. Semua menyangkut kreatifitas si penulis. Terlepas dari apakah si penulis pria atau perempuan.
Walau pemahaman yang coba saya ungkap membuat dahi pembaca berkernyit, bisa saja tulisan kita berjenis kelamin. Indikasi pra-kondisi dari style tulisan bisa jadi menjadi salah satu indikator jenis kelamin tulisan nantinya. Kenapa menjadi salah satu indikator? Karena probabilitas penulis pria membuat tulisan berkesan feminim bisa saja dilakukan. Jadi variabel style adalah pra-kondisi pertama dari penentuan jenis kelamin tulisan.
Contohnya, novel-novel dengan bias gender. Jika ada novel dengan penggambaran kaum perempuan yang subordinatif pada pria, maka bias gender terjadi. Dan novel seperti karya Remi Syllado misalnya banyak bias gender terjadi. Representasi perempuan pada novel masa penjajahan tertindas karena ketidakmampuan dan tidak mempunyai cara untuk mengatasi kesulitan hidup sehingga jatuh pada kenistaan. Ketertindasan mereka alami karena kekuasaan lelaki yang terlalu tinggi (Yanti:2012).
Lalu bisakah hal ini menjadi penentu jenis kelamin tulisan kita? Belum. Karena style yang diciptakan penulis pun menyangkut deskripsi waktu dan tempat sebuah karya tulis. Sedang karya tulis yang ada pun tidak semua berlatar satu waktu di masa lampau.
Pra-kondisi kedua adalah variabel si penulis itu sendiri. Dalam hal ini, kosakata menunjukkan background knowledge penulis untuk menulis. Dalam kasus ini, penggunaan kosakata akan mencoba mengasumsi jenis kelamin karya tulisannya. Karena kosakata pun sejatinya memiliki hakikat feminis-maskulin. Kata 'malam' akan berkesan feminis, dan sebaliknya 'siang' akan berkesan maskulin. Agar berbeda dengan style, tentunya adalah pemahaman bahasa seksis yang digunakan.Â
Kemudian siapa penulis itu sebenarnya, dalam hal jenis kelamin. Banyak penulis yang membuat nama pena pria atau berkesan pria. Penulis seperti George Elliot pada era klasik sastra Inggris adalah salah satu contoh penulis yang menggunakan nama pria. Karena pada masanya, penulis perempuan belum begitu menjual. Atau penulis novel Harry Potter, J.K. Rowling yang namanya berkesan pria. Sehingga nama dan jenis kelamin penulis kadang membuat asumsi tulisan berkesan feminim-maskulin. Walau sejatinya, semuanya akan bercampur aduk. Lalu jenis kelamin tulisan pun saya fikir belum bisa ditentukan.
[caption caption="Our brain on sexual preference - ilustrasi: skepchick.org"]
Justifikasi dengan Parameter Abstrak
Dan pada titik ini, saya masih belum bisa menjustifikasi jenis kelamin karya tulis. Baik itu tulisan ilmiah, prosa, puisi dan semua yang berada diantaranya, jenis kelaminnya belum bisa diklarifikasi. Oleh sebab itu, menggunakan parameter yang lebih abstrak mungkin akan lebih bisa menampakkan preferensi seksualnya. Parameter yang saya kira akan lebih simbolis daripada hakikat. Dan mungkin agak awam, simbolisasi tulisan yang muncul mungkin menampakkan jenis kelaminnya. Walau pengamatan dan penelitian lebih lanjut memang dibutuhkan.
Pertama, simbolisasi semantis sebuah karya. Mari kita secara sederhana membedakan style bahasa yang ada dalam bermacam karya tulis. Misalkan, jurnal, textbook, riset, laporan, dan skripsi/thesis/disertasi adalah karya tulis dalam lingkup akademik. Lingkup ini mengharuskan penggunaan Bahasa yang ilmiah dan sesuai tata bahasa yang baku. Dalam hal ini, tamsilan semantis akan menyimbolkan ketegasan, kekakuan, dan keakuratan. Baik dalam kosakata, tata bahasa, makna harus tepat dan sesuai. Segala yang tidak standar dianggap salah dan atau non-standar. Sehingga, kita asumsikan hal ini serasa maskulin. Terlepas variabel style, penulis dan background penulis. Karya tulis seperti ini dikategorikan pria.
Dan sesuai dikotomi sederhana ini, karya sastra dalam semua bentuknya masuk ke jenis kelamin perempuan. Karena karya sastra dalam tata bahasa, kosakata dan makna mendasarkan pada segi estetika dan emosi. Dan jika simbolisasi estetis dan emosi bermain, maka sisi feminim pun muncul. Dengan kata lain, karya kesustraan adalah simbolisasi utuh perempuan dengan rasa, karsa dan ciptanya. Sehingga menyandingkan puisi, misalnya, dengan seorang perempuan akan lebih bermakna. Walau Bahasa yang digunakan sarkastik, karya sastra memunculkan keindahannya yang unik.
Sekali lagi, justifikasi ini memang bersifat abstrak. Variabel yang ada pun tidak menjadi parameter. Karena kekalutan makna akan terjadi. Sehingga, penentuan berdasar karya sastra saya anggap lebih sesuai. Walau kesesuaian ini masih belum valid adanya. Justifikasi jenis kelamin karya tulis tentunya membutuhkan parameter yang valid. Ataupun, membutuhkan penelitian longitudinal. Dalam konteksnya, dari setiap penulis pada jamannya sendiri.
Lalu, signifikankah dikotomi pria-perempuan untuk tulisan kita? Signifikan menurut saya. Karena dalam memposisikan jenis kelamin, akan terlihat hakikat tulisan itu terlahir sebagai apa. Jika selama ini karya tulis tidak berjenis kelamin, setidaknya kita bisa tahu sesuatu yang unik dari keprian dan keperempuanan tulisan. Segala variable, elemen, bagian, kata, phonem, bahkan artinya akan bisa membuat jenis kelamin tulisan muncul. Atau jangan-jangan akan terjadi ‘anomali’ jenis kelamin tulisan. Jika suatu saat skripsi akan ditulis serupa puisi. Walau agak sederhana, saya tetap yakin apa yang saya dapat belum bisa menjadi acuan valid. Namun, bisa menjadi dasar presuposisi di kemudian hari.
Salam,
Solo, 07 Oktober 2015
11:24 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H