Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sepeda Bencong dan Microaggression Masyarakat Kita

24 Agustus 2015   12:31 Diperbarui: 24 Agustus 2015   12:31 2044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara psikologis, anak usia SD kelas IV sekitar 10-11 tahun sudah bisa memahami aturan dan norma. Sayangnya, mengenalkan latensi Mag, mungkin masih minim. Jangankan di kurikulum sekolah, di keluarga mungkin belum sadar. Sayangnya, masyarakat kita yang cenderung tersebar dan mengalami kesenjangan pemerataan, urusan Mag adalah nihil. Yang mereka serap dari televisi atau norma negatif yang turun temurun tentang memarjinalkan satu kaum minoritas adalah jamak adanya. Tidak ada yang salah dengan mencap orang bencong, homo, lesbi, miskin, anak haram, dll. Tingkat sarkasme pun lesap karena menganggap penuturnya adalah seorang anak.

Sayangnya, saat ada 'pembenaran' atas Mag yang diingat dan diucap sejak kecil anak bisa tumbuh kian sarkastik. Mungkin tidak heran banyak masyarakat kita yang mudah marah dan mengejek satu kaum. Atau main hantam dan bakar satu golongan yang dicap kafir dan menyimpang. Kaena mungkin sejak kecil Mag adalah pembenaran secara sosial. Jalan diskusi dan lebih santun mungkin menjadi pilihan kesekian, saat Mag sudah tertanam. Perduli dan menjaga harmonisasi dengan memberi kaum minoritas hidup sebagai manusia merdeka, bisa jadi hal yang enggan dilakukan.

Jangan Pula Membiarkan, Didik dan Beri Kepahaman dan Contoh

Saya agak ragu jika pemahaman Mag ini akan coba diurai di kurikulum sekolah. Sedang saat ini amtenar pemangku kebijakan pendidikan masih sibuk mengurusi infrastruktur dan pengawasan program yang telah ada. Ada baiknya, pemahaman akan bahaya Mag dimulai dari rumah. Terutama didahului oleh orangtua. Karena dengan begitu, diharapkan anak mengerti mana Mag atau sekadar canda biasa. Mudah-mudahan pula, anak tidak sekadar menertawai canda 'lucu' pada kaum minoritas tertentu. Mereka bisa klik rasa empatinya dari pada rasa humornya. Karena anak tahu, saat yang lain tertawa ada kaum minoritas diluar sana tersiksa karena mereka 'berbeda'.

Bentengi generasi masa depan dengan menerima perbedaan. Tapi juga jangan hanya membiarkan. Karena membentengi anak dengan karakter dari orangtua, akan lebih mengokohkan anak sebagai seorang yang bersahaja. Ia tahu kapan dan dimana canda atau tuturan yang mungkin saja menyinggung kaum tertentu. Karena orangtuanya pun, tahu dan faham serta tidak mempraktikkan Mag di kehidupan.

Sebagai orang dewasa, saya pun mencoba berbagi keresahan ini bagi pembaca. Saya yakin tidak ada orangtua yang ingin anaknya 'jago' dalam mencaci atau mencerca. Saya pun yakin, tidak ada orangtua yang ingin mencontohkan hal buruk pada anaknya. Mag memang halus dan cenderung tanpa kita sadari lakukan. Ada baiknya kita sebagai orang dewasa belajar. Andai saya berada di acara di Pontianak itu, saya akan merasa sedih melihat si anak berucap demikian. Lucu bagi sebagian orang, namun tidak dengan saya.

Menerima perbedaan dan tidak cenderung mencaci maki mereka yang yakin akan jalan berbeda yang mereka tempuh, adalah tanda manusia yang bijak. Jika bisa merubah pun, kita harus tahu dan faham kenapa mereka berbeda. Tidak sekadar mencaci dan bahkan mengasingkan mereka dengan pasung Mag. Karena dalam tiap agama apapun, kasih sayang adalah kunci hidup harmonis manusia. 

Salam,

Solo, 24 Agustus 2015

12:30 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun